Dan, rata-rata hanya menyadur atau memuat ulang dongeng populer. Tema dan plot dari dongeng terkesan normatif, seolah-olah realita kehidupan, serba datar dan tanpa masalah. Kemudian, dongeng menjadi angin lalu. Makna hilang seiring bertambah usia dan dilupakan.
Tak payah protes, lebih baik menambah wawasan pada makna cerita rakyat, hikayat atau dongeng dari sumber terpercaya. Lebih bermanfaat, membuat dongeng sendiri sesuai pesan moral sederhana. Namun relevan dan mengena, minimal pada anak-anak sendiri.
3. Media untuk menyampaikan protes
Huru hara politik, kerusakan alam dan perilaku tanpa akhlak, kerap muncul di media. Nilai-nilai moral bergeser jauh dan argumentasi kebajikan, ditelan zaman.Â
Tokoh publik, politik, agama dan pengabdi negara. Minim faedah untuk dijadikan panutan anak-anak. Hanya hitungan jari mungkin jumlahnya.Â
Kritik, opini dan keluhan menjadi samar dengan hasutan, fitnah dan tudingan. Dengan atau tanpa fakta, jerat UU ITE kian buta. Bertambah buta dengan nada kebencian yang mengakar dan tumbuh di tengah sebagian masyarakat.Â
Karya sastra berupa cerpen dan dongeng pendobrak kian langka. Bahkan, tak sedikit orang skeptis pada sastra berupa cerpen dan dongeng. Mungkin, minim referensi bacaan atau khilaf.
Karya fiksi William Shakespeare punya pengaruh pada Renaissance. Kejayaan peradaban Islam maju, karena perpustakaan diisi oleh karya sastra Rumi, Ibnu Sina, Omar Khayyam dan tokoh Islam lainnya. Dan, bagaimana revolusi Perancis dimulai oleh karya sastra Voltaire.Â
Ah, terlalu melangit catatan di atas. Toh, semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" diambil dari kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular.Â
Menulis sastra berupa cerpen dan dongeng sebagai media protes, lebih baik daripada mengumpat di media sosial. Terkesan naif, ya memang begitu adanya.Â
**