Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Hang Ramo dan Raja Lanun

20 Desember 2020   10:48 Diperbarui: 20 Desember 2020   11:06 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hang Ramo dan Raja Lanun by Pixabay

Kuala Tungkal, saat kesultanan Islam masih berdiri di tanah Andalas nan hijau permai.

Aliran sungai Batanghari yang bercabang naik ke arah Muaro Jambi, membelah hutan belantara ke pesisir laut, mengalir deras hingga menyentuh pulau Singkep.

Kapal layar Hang Ramo, berlayar dari dalam melewati simpang dan mengambil laluan Utara ke arah Temasek -- Singapura.

Berbekal pinang terbaik, kain tenun dan hasil alam dalam kapalnya, niat baik berniaga ke Selat Malaka harus ditempuh berhari-hari lamanya.

Saat lancang di angkat naik dan haluan siaga memecah samudera, tak ada siapapun yang dapat menahan laju kapal Hang Ramo.

Jangankan lanun--bajak laut, hantu laut pun segan merompak Hang Ramo, nakhoda handal, saudagar sekaligus pendekar pilih tanding dari bumi Swarna Dwipa.

Selain terkenal akan budi pekerti, santun bahasa dan adat yang luhur, Hang Ramo pun dikenal sebagai panutan yang bijak lagi dermawan.

Berlayar malam, kapal niaga berlayar malam
Haluan biru, haluan biru lepas samudera jua
Pantang padam, niat baik pantang lah padam
Tak jua ragu, karena langkahku terlindung do'a

Kapal melaju 4 hari lamanya. Saat akan mencapai perairan pulau Bulan di bawah Batam, Hang Ramo tiba-tiba meminta awak kapal menurunkan layar. Kapal pun melambat sejenak di lautan lepas.

"Ada apa gerangan tuan, tak ingin kah lebih cepat tiba di Temasek?" Tanya awak kapal pada Hang Ramo.

Beliau menjawab, "lihatlah serpihan kayu yang terombang-ambing. Aku sepintas melihat, ada seseorang yang tengah terapung di atasnya."

Hang Ramo meminta para awak untuk memastikan dugaannya, mereka mengambil sekoci dan mendekati serpihan kayu-kayu yang terombang-ambing di lautan.

Benar dugaan, seorang pemuda tengah kepayahan sambil memeluk erat salah satu serpihan kayu yang agak besar.

Mereka membawa pemuda tersebut, naik ke atas kapal dan memberikannya pengobatan. Di bersihkan seluruh tubuhnya dari air laut dan diberi pakaian yang layak serta dicukupi makan sampai tubuhnya benar-benar sehat.

"Siapa gerangan engkau? Bagaimana bisa terombang-ambing di laut?" Tanya Hang Ramo pada pemuda tersebut.

"Nama hamba Wako, Tuan," jawabnya.

"Kapal hamba tenggelam di terjang ombak, berhari-hari terapung-apung. Tak ada kapal yang sudi menolong, kecuali kapal Tuan," lanjutnya.

"Darimana engkau berasal, biar ku antar dengan selamat sampai kampung halaman," ucap Hang Ramo.

"Hamba dari Siak, biarlah hamba mencari jalan pulang setelah tiba di Temasek," jawab Wako.

"Baiklah, ambil perbekalan yang kau butuhkan. Biar ku bantu dengan beberapa keping emas," ucap Hang Ramo.

"Beribu-ribu terima kasih, Tuan. Biarlah hamba bekerja pada Tuan, selama kapal ini berniaga di Temasek dan Melaka." Pinta Wako.

Hang Ramo hendak beristirahat, beliau bangkit dari kursi nakhoda dan berkata, "jika itu keinginanmu, baiklah Wako."

"Tuan, ada satu hal lagi," ucap Wako.

"Apakah itu?" Jawab Hang Ramo.

"Sebutkan dua permintaan, hamba akan penuhi apapun keinginan Tuan pada hamba," ucap Wako.

Hang Ramo tersenyum pada Wako, ia tahu bahwasanya Wako ingin membalas jasa padanya. 

Kemudian beliau berkata,"permintaan pertamaku, ijinkan aku tidur dengan tenang. Bantulah awak kapal, menjaga layar tetap terkembang hingga tujuan."

"Permintaan kedua, belum aku pikirkan," tutupnya.

Wako merasa lega, orang yang menolongnya mempunyai budi pekerti yang baik. Ia mulai bekerja membantu awak kapal, membersihkan geladak, merapihkan tali dan sesekali membantu juru mudi di atas anjungan.

Sesampainya di Temasek, Wako membantu Hang Ramo mengangkut sutera dan emas ke dalam kapal. Serta menurunkan peti-peti berisi pinang, sirih dan kain tenun untuk dijual di tempat tersebut.

Begitupun di Melaka, Wako mendampingi Hang Ramo tawar menawar dengan saudagar dari timur jauh dan Eropa, keahlian Wako berbahasa Portugis menghindarkan Hang Ramo dari kerugian.

Hingga tiba seluruh barang dagangan habis dan angin Utara mulai bertiup, kapal Hang Ramo, harus segera kembali ke Muaro Jambi.

Mereka berpisah di Melaka, tangis Wako pecah saat kapal Hang Ramo meninggalkan dermaga. Dengan bekal yang lebih dari cukup, Ia pun segera pulang menumpang kapal lain menyeberang ke Siak melalui pulau Bengkalis.

Sepuluh tahun berlalu, kini Hang Ramo di percaya sultan sebagai panglima angkatan laut. Tugas dan tanggung jawab besar untuk memastikan keamanan laut di pesisir timur Swarna Dwipa.

Puluhan Lanun dari ujung muara sugihan, Musi dan kepulauan lingga telah beliau taklukan. Memastikan kapal-kapal yang melintas aman dan terlindung saat hendak masuk dan keluar sungai.

Dari sungai Batanghari, sungai Musi hingga tanjung api api telah beliau lindungi dari ulah para Lanun atau perompak.

Kabar kehebatan Hang Ramo terdengar ke telinga Baginda Sultan penguasa Siak hingga Belawan. Beliau meminta bantuan Hang Ramo untuk mengusir Lanun dari muara sungai Siak yang sangat meresahkan.

Lanun yang terkenal bengis dan sadis, ditakuti pedagang-pedagang asing yang melintas dari Melaka. Bahkan armada kerajaan dinasti Ming yang melindungi Melaka, dibuat tak berdaya.

Julukan Raja Lanun pun melekat pada pemimpin mereka, yang dikenal sakti mandraguna karena selalu berhasil memukul mundur pasukan kesultanan, pasukan dinasti Ming dan pasukan Portugis yang hendak menangkapnya.

Jika tuan hendak pergi, pergilah ke teluk kuantan
Menikmati matahari, di lepas luas samudera
Sirih pinang di atas peti, dinikmati raja dan sultan
Peti emas dalam lemari, tak guna jika Tuan binasa

Wako mengancam seorang saudagar dengan parang yang sangat panjang lagi tajam. Hingga kapal Wako pergi setelah menguras perbekalan dalam kapal saudagar tersebut.

Di tepi muara Siak, Hang Ramo telah menanti kapal lanun melintas, beliau bersiasat untuk menyergap kapal lanun tersebut sebelum masuk ke dalam sungai.

Pertempuran sengit tak terelakan, meriam dan anak panah beterbangan layaknya deras hujan. Hingga kedua kapal merapat semakin dekat, mulailah parang dan pedang, badik dan keris mengayun menari-nari di antara pasukan Hang Ramo dan Raja Lanun Wako.

Hang Ramo naik ke anjungan kapal lanun, ia mengayunkan pedangnya hendak menebas Raja Lanun. Tapi seketika beliau terdiam, saat leher nya sudah berkalung parang.

Saat berbalik arah, parang terlepas dan beliau pun heran. Apa gerangan yang terjadi? Mengapa Raja Lanun tidak membunuhku?

Raja Lanun itu adalah Wako, sepuluh tahun silam ia telah diselamatkan oleh Hang Ramo dari lautan. Hutang uang di bayar lunas, hutang budi dibawa mati.

"Ampun, beribu-ribu ampun Tuan," ucap Wako, seraya meletakan parangnya.

Melihat hal itu, seluruh pasukan kesultanan dan pasukan lanun pun menghentikan aksi pertempuran. Mereka melihat ke atas anjungan, dimana Tuannya masing-masing tengah berhadapan.

"Apa ini, kenapa bisa engkau si Raja Lanun!?" Tanya Hang Ramo.

"Ceritanya panjang, Tuanku," ucap Wako.

"Engkau masih punya satu permintaan, mintalah agar aku mengampuni nyawamu, Tuanku," lanjutnya.

Hang Ramo tak bergeming, ia menatap dalam-dalam mata Wako si Raja Lanun. Kemudian berkata, "tidak, bukan itu permintaanku, aku mau kau menyerah kalah dan menerima hukuman dari sultan."

"Bagaimana dengan nasib anak-anak buahku?" Tanya Wako.

"Mereka akan ku ampuni, dan bekerja untuk aku," jawab Hang Ramo.

"Sesuai janjiku, maka akan aku ikuti permintaan Tuan," ucap Wako.

Akhirnya pertempuran telah usai, sekali lagi kehebatan Hang Ramo mengatasi lanun telah beliau buktikan. Meskipun kali ini tidak dengan jalan pertempuran, melainkan menagih janji dari seorang lelaki.

Saat Wako si Raja Lanun menerima hukumannya, beliau tengah berada di atas kapal menuju Palembang. 

Beliau menitipkan sepucuk surat untuk Wako, bahwasanya apabila kelak Wako terbebas dari hukuman, dengan senang hati, beliau akan menerimanya bekerja.

Sebuah pantun beliau ucapkan,
Berdayung sampan lepas dermaga
Berdayung jauh hingga ke Batang Hari
Berpayung gelar, puja sebatas raga
Berpayung janji, dijunjung dibawa mati

***

Referensi dongeng anak sebelum tidur.

  • Berpegang teguh pada janji adalah harga diri setiap insan. 
  • Saling tolong menolong dalam kebaikan dan janganlah saling tolong menolong dalam kejahatan.

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Semoga dongeng mendapat tempat terbaik dalam budaya literasi kita semua.

(Indra Rahadian 12/20/2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun