Waditra-waditra tersebut dimainkan untuk mengiringi sholawat dan lagu-lagu sunda buhun bernafaskan Islam.
Satu orang memainkan sepasang angklung kecil yang disebut angklung roel, bertindak sebagai dalang, dua orang memainkan dogdog lojor, empat orang memainkan masing-masing satu angklung anak.
Satu orang lainnya memainkan angklung kencrung yang disebut angklung indung, satu orang memainkan angklung kencrung yang disebut angklung bapak, satu orang memainkan angklung kecer yang disebut angklung penerus, satu orang memainkan kecrek, dan dua orang penyanyi yang disebut jamjami.
Pertunjukan Seni Badeng sekarang terasa lebih dinamis, karena semua pemainnya bisa ikut bergerak dengan atraktif dan variatif, bahkan ada permainan komposisi dan tarian atau koreografi di dalamnya.Â
Boleh dibilang, Seni Badeng sekarang itu sudah sangat komplit untuk sebuah seni pertunjukan. Selain ada permainan musik, lagu-laguan, juga ada tariannya.Â
Selain itu, untuk menghindari kebosanan, di dalam pertunjukan Seni Badeng juga diselipkan adegan-adegan bobodoran atau komedi.
Dengan konsep yang lebih kekinian, Seni Badeng diharapkan dapat lebih diterima oleh masyarakat terutama generasi muda, sehingga bisa terus dijaga eksistensinya, dan bahkan dikembangkan.
Kelompok ini cukup aktif menggelar pertunjukan seni badeng, baik dalam acara-acara hajatan, peringatan hari besar islam, pentas-pentas seni hiburan rakyat, penyambutan tamu kehormatan, karnaval budaya, ataupun pada kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual.
Kelompok yang didirikan oleh Maestro Badeng, Bapak Yaya Sukarya (87), puluhan tahun silam ini, kini dikelola oleh salah satu keluarganya, Kang Mamat Rahmat.Â