Beliau bernama Arfaen Nursaen. Di kemudian hari beliau dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Lurah Acok atau Embah Acok. Beliau memiliki istri yang bernama Embah Santi.
Tidak mudah baginya untuk mengubah keyakinan penduduk kampung tersebut untuk berpindah memeluk agama Islam. Karena menurutnya, keyakinan seseorang itu memang tidak bisa dipaksakan.Â
Maka, Arfaen Nursaen mencari cara yang lebih halus dan tidak terkesan memaksa. Diciptakanlah sebuah bentuk tontonan atau hiburan untuk mengumpulkan warga.
Tontonan tersebut berupa permainan musik menggunakan waditra (alat musik) bernama dogdog, yakni sebentuk alat musik serupa kendang, terbuat dari batang pinang yang yang dilubangi, dan di salah satu ujungnya ditutupi dengan kulit binatang.Â
Alat ini dimainkan dengan cara dipukul dengan telapak tangan.
Permainan musiknya menjadi semakin meriah dengan adanya beberapa waditra tambahan yang terbuat dari batang-batang bambu, yang kini dikenal dengan sebutan angklung.Â
Tetabuhan musik itu dimainkan untuk mengiringi lantunan sholawat dan lagu-lagu sunda buhun yang syairnya berisikan tentang ajaran-ajaran agama Islam.
Dengan metoda seperti itu, sedikit demi sedikit usaha penyebaran agama Islam yang dilakukan Arfaen Nursaen dan santri-santrinya mulai terlihat membuahkan hasil. sedikit demi sedikit, masyarakat Malangbong dan sekitarnya mulai mengenal Islam, dan mulai mengikuti ajarannya.
Pada masa itu, kegiatan berkumpul dan bermusyawarah tersebut biasa dikenal dengan sebutan Bahadreng. Nah, dari sinilah muncul istilah Seni Bahadreng yang kemudian berubah pelafalannya menjadi Seni Badeng.Â