Mohon tunggu...
Inda Nugraha Hidayat
Inda Nugraha Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru | MC | Penulis

Seorang MC yang suka Menulis Puisi, Prosa, Drama, dll, dalam bahasa Sunda dan Indonesia, di sela kesibukannya mengajar di sebuah SMK Swasta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seni Badeng dari Sanding Malangbong, Warisan Karuhun yang Menolak Punah

25 Desember 2019   07:57 Diperbarui: 25 Desember 2019   14:44 1426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sanding adalah nama sebuah kampung di wilayah utara kabupaten Garut. Tepatnya berada di wilayah Kecamatan Malangbong, sebuah kecamatan yang terkenal akan kelezatan ladunya. 

Pada mulanya kampung Sanding ini merupakan "ibu kota"-nya Desa Sanding. Namun, setelah terjadi pemekaran wilayah desa, kampung Sanding malah berada di wilayah Desa Girimakmur, desa baru pecahan dari Desa Sanding.

Kampung Sanding terletak di sebuah dataran tinggi, di kaki Gunung Ringgeung. Karena letaknya yang berada di dataran tinggi yang air dan tanahnya subur, wilayah ini sangat cocok dijadikan area pertanian. 

Maka tidak heran jika kemudian sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Dengan penuh semangat mereka bekerja mengolah tanah, sebagai bukti syukur atas anugerah terindah yang mereka dapatkan dari Sang Pencipta.

Sanding bukanlah sebuah kampung ataupun desa yang besar, tapi namanya sudah cukup dikenal baik oleh masyarakat Kabupaten Garut. 

Hal ini merupakan dampak dari adanya sebentuk kesenian tradisional yang khas dan sangat unik, serta masih hidup dan berkembang di masyarakat Sanding, Malangbong dan sekitarnya. 

Kesenian buhun (tua) ini dikenal dengan istilah Seni Badeng, sebentuk seni pertunjukan yang cukup unik dan menarik.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Seni Badeng merupakan salah satu bentuk seni tontonan yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Diperkirakan kesenian ini lahir pada abad ke-17, di kampung Sanding Desa Sanding (kini, setelah pemekaran desa, kampung tersebut berada di desa Girimakmur) Kecamatan Malangbong.

Awalnya, kesenian ini digunakan sebagai salah satu media penyebaran agama Islam. Biasanya dipertunjukkan pada saat dilaksanakan pertemuan atau musyawarah warga. 

Kini, fungsi Seni Badeng sudah bergeser menjadi sarana hiburan yang bisa dipertontonkan pada berbagai kegiatan perayaan seperti menyambut tamu besar, peringatan hari-hari besar Islam, menyambut pengantin, khitanan, dan perayaan-perayaan lainnya.

Sekitar abad ke-17 masehi, ketika masyarakat kampung Sanding masih menganut agama Hindu, Budha, dan bahkan animisme/dinamisme, datanglah seorang ulama dari Banten yang hendak menyebarkan agama Islam di daerah tersebut. 

Beliau bernama Arfaen Nursaen. Di kemudian hari beliau dikenal oleh masyarakat sekitar dengan sebutan Lurah Acok atau Embah Acok. Beliau memiliki istri yang bernama Embah Santi.

Tidak mudah baginya untuk mengubah keyakinan penduduk kampung tersebut untuk berpindah memeluk agama Islam. Karena menurutnya, keyakinan seseorang itu memang tidak bisa dipaksakan. 

Maka, Arfaen Nursaen mencari cara yang lebih halus dan tidak terkesan memaksa. Diciptakanlah sebuah bentuk tontonan atau hiburan untuk mengumpulkan warga.

Tontonan tersebut berupa permainan musik menggunakan waditra (alat musik) bernama dogdog, yakni sebentuk alat musik serupa kendang, terbuat dari batang pinang yang yang dilubangi, dan di salah satu ujungnya ditutupi dengan kulit binatang. 

Alat ini dimainkan dengan cara dipukul dengan telapak tangan.

Permainan musiknya menjadi semakin meriah dengan adanya beberapa waditra tambahan yang terbuat dari batang-batang bambu, yang kini dikenal dengan sebutan angklung. 

Tetabuhan musik itu dimainkan untuk mengiringi lantunan sholawat dan lagu-lagu sunda buhun yang syairnya berisikan tentang ajaran-ajaran agama Islam.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dengan bantuan tetabuhan musik tersebut, Arfaen Nusaen dan santri-santrinya, giat melakukan pertunjukan keliling dari kampung ke kampung, mengajak masyarakat berkumpul dan bermusyawarah, membicarakan berbagai masalah kehidupan sosial masyarakat, sambil selalu menyelipkan petunjuk-petunjuk tentang keagungan dan keindahan agama Islam.

Dengan metoda seperti itu, sedikit demi sedikit usaha penyebaran agama Islam yang dilakukan Arfaen Nursaen dan santri-santrinya mulai terlihat membuahkan hasil. sedikit demi sedikit, masyarakat Malangbong dan sekitarnya mulai mengenal Islam, dan mulai mengikuti ajarannya.

Pada masa itu, kegiatan berkumpul dan bermusyawarah tersebut biasa dikenal dengan sebutan Bahadreng. Nah, dari sinilah muncul istilah Seni Bahadreng yang kemudian berubah pelafalannya menjadi Seni Badeng. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Jadi, Seni Badeng itu adalah sebentuk kesenian yang selalu ditampilkan pada saat dilaksanakan Bahadreng.

Ada juga yang mengatakan, kata Badeng diadopsi dari bahasa Arab, Badi'un, yang artinya unik dan indah. Hal ini sangat memungkinkan, karena sebagai ulama, sudah barang tentu Arfaen Nursaen cukup fasih menggunakan bahasa Arab. 

Dipandang dari keunikan bentuk tontonan dan waditra yang digunakan serta keindahan musik dan syair lagu-lagunya pun memang cukup mewakili bila istilah Badeng diadopsi dari kata Badi'un.

Awalnya, kesenian ini dimainkan oleh enam orang. Satu orang memainkan sepasang angklung kecil yang disebut angklung roel. 

Pemain angklung roel ini bertindak sebagai dalang. Ia yang akan mengendalikan alur, arah dan ritme permainan secara keseluruhan. 

Secara filosofis, sepasang angklung roel ini menyimbolkan sepasang pemimpin yang sangat dihormati pada waktu itu, yakni ulama dan umaro. 

Sepasang angklung roel dipegang dan dimainkan oleh seorang dalang, artinya ulama dan umaro itu harus seiring sejalan.

Lalu ada sepasang pemain yang memainkan dogdog lojor. Hal ini merupakan simbol dari kehidupan yang senantiasa berpasangan. 

Ada siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk, dan sebagainya. Pemain-pemain waditra ini bertindak sebagai pengatur ritme permainan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kemudian, ada satu orang pemain yang memainkan sepasang angklung besar. Angklung ini biasa disebut angklung indung dan angklung bapak. 

Satu orang pemain lagi memainkan empat buah angklung yang disebut angklung anak, dan satu orang berikutnya memainkan angklung Kecer.

Para pemain Seni Badeng, kecuali dalang dan pemain dogdog lojor, memainkan waditra-nya dalam posisi duduk, sehingga terkesan statis. 

Waditra-waditra tersebut dimainkan untuk mengiringi sholawat dan lagu-lagu sunda buhun bernafaskan Islam.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Seiring perkembangan zaman, Seni Badeng pun mengalami beberapa pengembangan dan penyesuaian. Kini, setelah dikembangkan, pertunjukan Seni Badeng ini bisa dimainkan oleh sekitar dua belas hingga tujuh belas orang pemain. 

Satu orang memainkan sepasang angklung kecil yang disebut angklung roel, bertindak sebagai dalang, dua orang memainkan dogdog lojor, empat orang memainkan masing-masing satu angklung anak.

Satu orang lainnya memainkan angklung kencrung yang disebut angklung indung, satu orang memainkan angklung kencrung yang disebut angklung bapak, satu orang memainkan angklung kecer yang disebut angklung penerus, satu orang memainkan kecrek, dan dua orang penyanyi yang disebut jamjami.

Pertunjukan Seni Badeng sekarang terasa lebih dinamis, karena semua pemainnya bisa ikut bergerak dengan atraktif dan variatif, bahkan ada permainan komposisi dan tarian atau koreografi di dalamnya. 

Boleh dibilang, Seni Badeng sekarang itu sudah sangat komplit untuk sebuah seni pertunjukan. Selain ada permainan musik, lagu-laguan, juga ada tariannya. 

Selain itu, untuk menghindari kebosanan, di dalam pertunjukan Seni Badeng juga diselipkan adegan-adegan bobodoran atau komedi.

Dengan konsep yang lebih kekinian, Seni Badeng diharapkan dapat lebih diterima oleh masyarakat terutama generasi muda, sehingga bisa terus dijaga eksistensinya, dan bahkan dikembangkan.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Salah satu kelompok yang sampai sekarang masih aktif mempertunjukkan seni Badeng adalah kelompok Seni Badeng Waruga Jagat, di Kampung Sanding Desa Girimakmur, Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut. 

Kelompok ini cukup aktif menggelar pertunjukan seni badeng, baik dalam acara-acara hajatan, peringatan hari besar islam, pentas-pentas seni hiburan rakyat, penyambutan tamu kehormatan, karnaval budaya, ataupun pada kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual.

Kelompok yang didirikan oleh Maestro Badeng, Bapak Yaya Sukarya (87), puluhan tahun silam ini, kini dikelola oleh salah satu keluarganya, Kang Mamat Rahmat. 

Kelompok yang anggota-anggotanya masih memiliki ikatan saudara ini, masih rajin melakukan latihan secara rutin.

Beruntung sekali, ketika berkunjung ke Sanggar Seni Badeng Waruga Jagat, mereka sedang mengadakan latihan rutin. Bahkan pada saat latihan pun mereka biasa mengenakan kostum seperti saat sedang pentas.

Menurut penuturan Kang Mamat, Kelompok Seni Badeng Waruga Jagat senantiasa berlatih untuk menjaga kekompakan dan meningkatkan keterampilan setiap pemain.

Pada event atau momen-momen tertentu, pagelaran seni badeng terkadang bisa menghadirkan suasana mistis. Terutama pada acara-acara yang bersifat ritual. Ada aura-aura yang tidak biasa, hadir melingkupi sekitar tempat pagelaran.

"Biasanya, sehari sebelum menggelar seni badeng, kami nyekar dulu ke makam karuhun, sekedar pamit untuk melestarikan budaya warisan leluhur," lanjut Kang Mamat yang diiyakan oleh Maestro Badeng, Bapak Yaya Sukarya.

"Badeng teh banda budaya titinggal karuhun. Kudu diruat, diraut, dirawat. Ngarah aya, tur ngajega tepi ka jaga. (Seni Badeng itu merupakan budaya peninggalan leluhur. Harus diruat, diraut dirawat. Supaya tetap ada hingga waktu yang lama.)," pesan sang Maestro.

Sebagai warisan budaya leluhur, Seni Badeng itu harus diruat, artinya digali dari akar budayanya. Disyukuri kelahiran dan kehadirannya. Didoakan dan diperlakukan dengan baik, agar terjaga keasliannya hingga waktu yang lama.

Selain itu, Seni Badeng juga harus diraut, artinya diperhalus, diperindah, dipercantik, diperbaiki, disesuaikan dengan kondisi terkini. 

Sesuai dengan pepatah sunda, "ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman". Artinya, sebagai sebuah seni pertunjukan, Seni Badeng harus mengikuti perkembangan waktu dan tuntutan zaman.

Dan yang tak kalah pentingnya, Seni Badeng itu harus dirawat atau bisa juga disebut dirumat, artinya diperlakukan dengan sangat baik dan hati-hati. 

Dibersihkan dari hal-hal yang negatif. Ditempatkan di tempat yang terjaga kebersihan dan keamanannya. 

Jangan sampai keberadaanya tersia-siakan, apalagi sampai diakui sebagai budaya milik bangsa lain.

Untuk lebih memasyarakatkan Seni Badeng, Kang Mamat dan kelompoknya mencoba berkolaborasi dengan anak-anak muda yang tergabung dalam sebuah grup band lokal, yang mengangkat badeng di dalam salah satu lagunya. 

Lagu tersebut, kemudian dibagikan melalui beberapa media di internet. 

Harapannya, dengan lagu tersebut, akan semakin banyak orang yang tahu dan penasaran akan pertunjukan Seni Badeng.

Nah, buat kamu yang mulai penasaran dengan bentuk pertunjukan Seni Badeng, kamu bisa datang langsung ke Kampung Sanding Desa Girimakmur, Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Atau, kamu juga bisa datang pada acara Festival Gebyar Budaya Pesona Garut, yang digelar setiap tahun pada bulan Maret-April. 

Festival Gebyar Budaya Pesona Garut, yang masuk dalam 100 Calender of Event Indonesia ini, biasanya menampilkan seluruh Kesenian Khas Unggulan Garut, termasuk Seni Badeng dari Kecamatan Malangbong.

So, tunggu apalagi? Ayo wisata, jelajahi Garut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun