"Anakku!" Bu Burhan yang baru keluar dari kamar menjerit histeris melihat anaknya terkapar di lantai. Segera ia memburu anaknya.
"Pak Burhan, tolong kembalikan uang adik saya yang diambil Hendra siang tadi. Juga uang pesangon saya." Burhan masih diam. Mulutnya sedikit terbuka. Tatapannya lurus ke arahku. Mungkin dia masih shock melihat tindakan nekadku barusan. Selama ini dia mengenalku sebagai karyawannya yang paling pendiam. Selalu patuh dan segan padanya sebagai atasan. Sabar, selalu mengalah, dan bahkan terkesan penakut.
"Pak Burhan..." Dia masih juga diam. Aku jadi naik pitam dibuatnya. "Sekarang!" bentakku keras. Burhan tergeragap. Dia bangkit. Aku ikuti dia berjalan ke kamarnya tanpa memperdulikan keberadaan isterinya. Burhan membuka lemari dan mengeluarkan tas hitam berisi tumpukan uang. Nyonya Burhan menyusul ke kamar. Dia berusaha merebut tas berisi uang dari tangan suaminya. Aku menjadi semakin gelap mata. Hatiku tertutup awan hitam. Segera kukeluarkan Katana yang terselip di balik jaketku. Dalam satu gerakan kucabut ia dari sarungnya. Cahaya lampu listrik nampak berkilat memantul dari permukaan pedang kecil itu.
"Cepat serahkan!"
"Tidak! Ini milik kami. Tolong...! Tolong...ada rampok!"
"Ha...ha...ha... Ayo berteriaklah sesukamu. Berteriaklah sekeras mungkin. Kalau perlu sampai tenggorokanmu putus. Ha...ha...ha..." Aku yakin tak akan ada yang mendengar teriakannya. Villa ini terpisah sekitar lima kilometer dari perkampungan penduduk.
"Ma, Pa, ada apa sich? Berisik banget." Mendengar teriakan ibunya, anak gadis Burhan datang memburu ke kamar. Dia hanya mengenakan kaos singlet putih tipis dan celana pendek. Tanpa bra, hingga puting susunya nampak menonjol di kaos singlet tipisnya. Seksi sekali. Tubuhnya sintal, padat berisi dengan kulit putih mulus. Pintar sekali dia merawat badannya. Sepasang payudara yang pepaya membusung sekal di dadanya. Wajah cantik dengan rambut sebahu, ditopang leher jenjang. Sungguh tanpa cela. Darah kelelakianku seketika menggelegak. Darah lelaki bujang 28 tahun. Aku terangsang. Aku benar-benar telah lupa diri. Iblis telah merestuiku sebagai pengikutnya. Dia membantuku mengusir sejuta malaekat yang bertasbih di telingaku. Dia juga membantuku mengusir bayangan Tuhan yang berdansa di kelopak mataku. Dia, Iblis, telah menjadi sahabatku. Menabuh gamelan untuk mengiringi tarian durjanaku.
"Bangsattttt..." Sebuah teriakan dari belakang membuat tanganku bergerak reflek menyabetkan katana ke arah sumber suara, sambil merundukkan badan. Darah muncrat dari perut Hendra. Guci keramik yang diangkatnya, jatuh menimpa kakinya sendiri. Pecah berantakan. Hendra meringis. Tak bisa berdiri. Duduk ia bersandar di tembok kamar. Aku menyeringai. Senyuman iblis.
Pintu kamar aku kunci. Tanganku beberapa kali bergerak sebat mengayunkan pedang kecil di tangan kanan. Dua tubuh tua rubuh bergelimang darah. Belum mati. Dan si cantik sudah tergolek tanpa busana di tempat tidur. Tangisnya tak terkata. Hendra hanya mampu menangis menyaksikan penderitaan adiknya, tanpa mampu menolong.
Iblis semakin banyak berkumpul di kepalaku. Malaekat-malaekat tak lagi bertasbih di telingaku. Terbirit mereka kembali ke langit. Dan bayangan Tuhan yang menari di mataku sirna seperti debu dihembus angin.
******