Mohon tunggu...
Inda Nugraha Hidayat
Inda Nugraha Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru | MC | Penulis

Seorang MC yang suka Menulis Puisi, Prosa, Drama, dll, dalam bahasa Sunda dan Indonesia, di sela kesibukannya mengajar di sebuah SMK Swasta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Durjana

29 Mei 2019   10:00 Diperbarui: 1 Juni 2019   23:59 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Ya sudah. Sekarang kamu mandi sana!"

*****

Rangkaian kejadian siang tadi terbayang kembali dalam memoriku. Jelas tergambar seperti film-film pendek. Pak Burhan yang memecatku karena terlambat menyerahkan proposal, Mila yang mau bunuh diri karena dirampok dan diperkosa temannya sendiri, Bu Anwar yang meminta rumahnya dengan sopan, dan Wawan yang ingin melanjutkan sekolah.

Keraguan yang sempat mengurungku, aku lempar ke alam maya yang tak teridentifikasi. Tekadku bulat. Semakin bulat. Sebulat bola dunia. Sebulat matahari. Sebulat angkara berbalut kesumat. Ya, aku harus melakukannya malam ini. Harus.

Kembali aku melangkah. Menempuh jarak yang tinggal dua ribu meter. Sebuah villa di tengah hamparan kebun teh, yang masih belum kelihatan. Setitik sinar lampunya sekalipun. Sebuah villa pribadi milik keluarga Burhan Cahyana. Langkahku semakin pasti. Tegas dan tergesa.

Jam antik di ruang tamu villa itu berdentang sepuluh kali, tepat saat aku tiba di teras villa itu. Pintunya terbuka.

"Selamat malam, Pak Burhan." Kekagetan jelas sekali terlihat di wajahnya yang bulat. Juga di wajah Hendra Cahyana, anak sulungnya. Setelah beberapa saat tertegun, Burhan segera mampu menguasai dirinya.

"Eh, oh, Pak Yandi. Mari, Pak. Mari. Silahkan masuk," sambutnya dengan keramahan yang sangat dipaksakan. Aku masuk dan duduk di sofa empuk ruang tamu. Aku mengambil tempat di dekat pintu, berseberangan dengannya. Hendra berdiri di samping bapaknya. Ibu dan adik perempuannya tak kelihatan. Mungkin sedang di dapur atau sudah pada tidur.

"Langsung saja, Pak. Saya mau membicarakan perihal pemecatan saya," aku menggilirkan batang yang menyembul di balik jaketku. Membetulkan posisinya senyaman mungkin. "Di surat itu disebutkan bahwa saya akan mendapat pesangon sebesar satu tahun gaji. Menurut bagian keuangan, Bapak sudah mengambilnya. Betul begitu, Pak ?" Nyaris tak percaya aku pada diriku sendiri, aku bisa bicara lancar dan tegas di hadapan orang yang paling kusegani selama ini.

Burhan diam saja. Juga anaknya.

"Kebungkaman Bapak saya artikan pengakuan. Terima kasih, Pak." Burhan menatapku lekat. Aku balas memandangnya. Malu dan marah membuat mukanya merona merah. Aku tak peduli. Aku sudah terlalu lama menundukkan kepalaku di hadapannya. Sekarang saatnya aku tegakkan kepalaku. Burhan menunduk. "Tapi saya masih belum mengerti alasan pemecatan saya. Proposal itu baru akan Bapak ajukan besok pagi, bukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun