"Nak Yandi, ibu betul-betul minta maaf," Bu Anwar memulai pembicaraan setelah kupersilahkan duduk di ruang tamu yang sempit dengan satu set kursi rotan yang sudah usang.
"Seperti Nak Yandi ketahui, si Arman, anak ibu yang paling bontot akan menikah akhir bulan depan. Rencananya, setelah menikah dia dan isterinya akan menempati rumah ini, yang memang sudah menjadi haknya."
Baik sekali ibu tua ini. Bahkan untuk mengambil miliknya sendiri pun, ia masih berlaku sopan. Penuh tatakrama. Tidak banyak orang sebaik beliau di zaman sekarang ini. Apalagi di kota yang lumayan besar seperti ini.
Bingung. Aku benar-benar bingung. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Yang pasti aku harus segera keluar dan meninggalkan rumah ini. Rumah yang berpuluh tahun menampung dan menaungi kami sekeluarga. Rumah yang sudah membesarkan aku dan kedua adikku. Rumah yang sarat dengan kenangan. Rumahku. Istanaku.
"Sekali lagi ibu minta maaf, Nak Yandi. Kalau bisa, sebelum tanggal sepuluh bulan depan, rumah ini sudah kosong!"
"Baik, Bu. Saya sangat mengerti. Insya Allah secepatnya kami akan segera pindah dari sini."
Kuantarkan kepergian Bu Anwar dengan tatapan mata kosong. Pikiranku sudah terbang entah ke mana. Mungkin ke negeri antah berantah, mencari putri kerajaan dongeng yang bisa menolongku dengan tongkat ajaibnya. Atau ke angkasa raya menjemput Peri Bintang yang sanggup menerangi cakrawala hatiku dengan kerlip matanya. Atau ke brankas besi di bank nasional yang penuh dengan rupiah.
****
"Kak, Wawan diterima di SMA Negeri 1," si bungsu datang mengganggu gundahku. Ia tampak bahagia, membawa kabar yang semestinya membuatku gembira. Perlahan aku buka dan baca surat itu. Wawan diterima sebagai siswa SMA Negeri 1 tahun ini. Di daftar siswa yang diterima, ia urutan ke-sembilan. Orang tua manapun pasti akan bangga ketika anaknya mendapat prestasi bagus. Dan diterima di sekolah favorit sekelas SMA Negeri 1 adalah sebuah prestasi hebat. Wawan harus segera melaksanakan daftar ulang sebelum tanggal dua puluh bulan ini. Aku pandangi binar di matanya yang memancarkan kebanggaan.
"Maafkan kakakmu, Wan. Kakak tak bisa menyertai kebahagiaanmu," kataku dalam hati. Hanya dalam hati. Aku tak sampai hati menghancurkan kegembiraannya. Kebanggaannya.
Tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu. Apa aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam tiga hari? Dari mana? Bagaimana? Perusahaan tempatku menggantungkan hidup telah memecatku. Sementara simpanan uang sisa penjualan rumah yang dipegang Mila, raib dirampok Hendra Cahyana.