Mohon tunggu...
Indani Ainun Fajriah
Indani Ainun Fajriah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jadilah pribadi yang bermanfaat, kapan pun dan dimana pun kita berada.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Kisah di Atas Bentala, Pertemuan Dengannya

11 Oktober 2024   12:43 Diperbarui: 11 Oktober 2024   12:45 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Agnesh berjalan kaki, menyusuri jalan setapak yang sangat sepi mengingat hari yang sudah mulai larut, ya gadis itu baru kembali dari pemakaman Aurel. Tangannya memegang tali tas yang dia gendong, disertai senandung kecil yang keluar dari bibirnya. Dari jarak yang lumayan jauh, terlihat sinar sepeda motor yang sangat terang, Agnesh yang melihat itupun tersenyum senang karena merasa akan mendapatkan bantuan.

Hingga, jarak sepeda motor itu dengan dirinya semakin dekat. Agnesh semakin mempercepat langkah. Namun, setelah sampai di samping pengemudi tadi, Agnesh terdiam dan menelan ludahnya kasar.

"A-abang.." ujar Agnesh terbata-bata karena ketakutan.

Pupus sudah harapannya untuk bertemu dengan seseorang yang dapat membantunya. Karena nyatanya yang datang adalah seorang yang telah membencinya sejak lama. Reno -- abangnya.

Reno menatap Agnesh tajam. "Lo bolos kan?"

Agnesh diam, tanpa ada jawaban yang terlontar dari mulutnya. Pandangannya pun tak lagi menghadap ke arah Reno, melainkan menatap sepatunya yang mulai kotor karena tanah.

Melihat Agnesh tak memberikan respon apapun, semakin membuat Reno geram. "HEH, LO BOLOS KAN, ANJING!!"

"Maaf Bang," hanya kata itu yang terlontar dari mulut Agnesh setelah mendapatkan bentakan dari Abangnya.

Setelah meminta maaf pada sang abang, tanpa berkata lagi Agnesh berlalu pergi dengan langkah kakinya yang lumayan cepat. Reno yang melihat itupun, segera turun dari motornya dan menyusul langkah kaki Agnesh yang seakan lari darinya.

Agnesh yang sadar jika Reno mengikuti, kini mulai berlari guna menghindari amukan yang mungkin akan membuatnya kembali lebam dan terluka. Melihat itupun membuat Reno menampilkan senyum smirk-nya.

"Gadis bodoh," desis Reno dengan tatapan yang mengarah ke arah Agnesh, yang sedang berlari menjauh. Reno mulai melangkahkan kakinya perlahan, seakan tak memiliki niatan untuk mengejar Agnesh. Tangannya dia masukkan ke dalam hoodie yang dikenakan.

Agnesh yang mulai kelelahan memelankan langkah, sesekali kepalanya menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Reno masih mengejarnya atau tidak. "Alhamdulillah, Abang udah nggak ngejar aku lagi," gumamnya dengan napas yang ngos-ngosan.

Ditengah-tengah Agnesh menormalkan detak jantung dan mengatur napasnya, Reno datang kemudian menarik tangan Agnesh dengan kencang hingga membuat gadis itu tersungkur. Lututnya menindih baju yang cukup tajam, membuat luka itu mengeluarkan darah yang cukup banyak. Tak cukup sampai disana, Reno kembali memukuli kaki Agnesh dengan ranting kayu yang dia bawa, Agnesh meringis kesakitan dengan tangis yang kembali menguar.

"Ab-abang..." rintih Agnesh disertai air mata yang mengalir deras dipipinya.

Reno tak peduli dengan rintihan sakit Agnesh, dia kembali menghujam Agnesh tanpa ampun. Rambut Agnesh tak lagi rapi, seragamnya semakin kotor karena tendangan-tendangan yang Abangnya berikan. Samping matanya lebam, Reno menamparnya tanpa belas kasihan. Bahkan lututnya yang berdarah pun tetap Reno pukuli dengan ranting.

"Udah Abang, Agnesh nggak kuat," mohon Agnesh dengan tatapan sayunya.

Reno yang melihat itupun tertawa puas. "BERANI BERTINGKAH, HARUS BERANI NERIMA KONSEKUENSINYA ANJING!! KEMANA LO SEHARIAN INI HAH?! DASAR ANAK GA TAU DIUNTUNG, LO ITU UDAH BODOH, JANGAN TAMBAH NGEBUAT KELUARGA GUE MALU, SIALAN!!!"

Agnesh menunduk, tak berani menatap Reno yang menatapnya dengan pandangan meremehkan. "Ma-maaf abang, ta-tadi Nesh-"

BRAK

Tak sampai selesai Agnesh berbicara, Reno kembali menendangnya dan berlalu pergi menuju tempat asal dimana sepedanya berada. Agnesh yang melihat itu, berusaha memanggilnya, berusaha meminta tolong untuk pulang bersama, karena dengan seperti ini tidak memungkinkan dirinya pulang jalan kaki. Namun, melihat respon Reno yang justru mengulurkan jari tengahnya membuat Agnesh lagi-lagi hanya terdiam sembari menghela napasnya gusar.

Agnesh terisak, sebelah tangannya dia gunakan untuk menutupi lututnya yang mengeluarkan darah. "Abang, jangan tinggalin Agnesh," lirih Agnesh dengan sesegukan.

Masih dengan tangisannya, Agnesh menatap sekeliling. Tak ada kendaraan ataupun motor lain yang melintasi jalan ini. Jika saja, dia berada di tempat yang ramai maka memungkinkan dirinya untuk mencari ojek dan membayarnya ketika sudah sampai di rumah nanti.

Menelpon Ayahnya pun tak mungkin, karena pria paruh baya itu tak akan pernah menjempunya. Terlebih hanya dalam kondisi seperti ini, Agnesh sekarat pun, Kailash tak akan pernah sudi untuk menjemputnya. Dari dulu, dia selalu meminta bantuan Aurel disaat-saat seperti ini. Tetapi sekarang, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

Dengan susah payah, Agnesh berusaha untuk berdiri. Gadis itu tetap mencoba berjalan meski terseok-seok. Tubuhnya lemas, dia sudah tak kuat untuk berjalan lagi. Perutnya pun terasa sangat perih, mengingat dia tak makan sedari pagi. Tubuhnya terasa sakit semua, terlebih lututnya yang mengeluarkan darah tiada henti.

Agnesh menyerah, dia memilih untuk menunggu dipinggir jalan. Mencoba menunggu seseorang datang membantunya. Agnesh selalu berpikir, entah sampai kapan penderitaannya ini berakhir. Apakah mungkin berakhirnya ini semua saat dia menutup mata untuk selamanya? Jika memang iya, Agnesh tak akan sanggup Tuhan.

"AGNESH? ASTAGA LO KENAPA?" dari jarak satu meter terlihat seorang lelaki yang memberhentikan motornya saat melihat siluet Agnesh yang duduk-duduk dipinggir jalan.

Agnesh menoleh, tiada hentinya dia mengucapkan rasa syukur. Tuhan masih berbaik hati padanya. Agnesh mencoba berdiri walaupun dengan susah payah, karena merasa kasihan lelaki itupun membantunya untuk berdiri. "Aakash, kamu bisa anterin aku pulang nggak? Nanti sampai rumah, aku bakal ganti uang bensinnya kok, beneran," ujar Agnesh dengan tatapan memohon.

Aakash Chizuru Watanabe, lelaki kelahiran Jepang ini adalah teman sekelas Agnesh.

Tanpa berpikir dua kali, Aakash mengiyakan permintaan gadis itu. "Ayo," ujarnya seraya menuntun Agnesh menuju ke arah motornya dan membantunya untuk duduk dengan nyaman.

Setelah itu, Aakash ikut naik ke atas sepedanya dan menjalankan sepedanya dengan perlahan. "Lo kenapa dijalan sepi sendirian gitu, Nesh? Mana luka-luka lagi badan lo, lo kerampokan?"

"Hah, engga kok. Aku dari makam Aurel," sahutnya.

Mendengar jawaban yang Agnesh lontarkan membuat Aakash bertanya-tanya. "Tapi, kok lo bisa ada disini. Nggak mungkin kan kalau lo jalan kaki dari tempat pemakaman Aurel?"

Agnesh menggeleng, meski dia tahu Aakash tak akan melihat gerekan kepalanya. "Iya, aku jalan. Soalnya uang aku udah habis."

"Hmm, yauda gue anter balik deh. Tapi sebelum pulang, kita mampir ke warung dulu ya, beli obat buat luka-luka lo itu," kata Aakash.

Agnesh menggeleng lagi. "Enggak perlu Kash, uang aku udah habis."

"Gapapa, pake uang gue aja."

Setelah itu tak ada lagi percakapan antara keduanya. Aakash yang fokus menyetir, sedang Agnesh sibuk dengan pikirannya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Aakash memberhentikan sepedanya di depan warung kecil. Lelaki itu masuk begitu saja, tanpa mempedulikan Agnesh yang masih berada di atas motor. Selang beberapa menit, Aakash kembali dengan membawa sekantong kresek yang berisi kapas, revanol, obat merah, serta plaster doraemon berwarna biru.

Dengan telaten Aakash mengobati luka-luka Agnesh, padahal Agnesh sudah menolaknya dan akan mengobati dirinya sendiri, tapi Aakash tetap memaksa.

Agnesh sedikit meringis saat Aakash mengobati luka dilututnya yang lumayan dalam, terasa sangat perih. Aakash yang melihatnya pun ikut meringis, sesekali Aakash meniupi luka Agnesh agar tak terasa terlalu perih. "Ini luka lo kok bisa dalem banget sih Nesh? Lo jatuh apa gimana dah?"

"Nggak sengaja kesandung kaki aku sendiri, terus jatuh ke batu yang lumayan lancip," alibinya seyakin mungkin, agar Aakash tak curiga.

Aakash hanya manggut-manggut saja, dan menyelesaikan pekerjaannya mengobati kaki Agnesh dengan segara. Hari semakin malam, dan dia harus segera mengembalikan Agnesh kepada orang tuanya. Terlebih Agnesh pulang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, bisa-bisa nanti dirinya lagi yang dituduh ini dan itu.

Bersambung...

Stay tuned yaa, keseruan-keseruan akan semakin dapat kalian temukan setelah ini!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun