Setelah dari pemakaman Aurel, Agnesh tidak langsung pulang ke rumahnya. Gadis itu mengunjungi suatu rumah kecil yang biasanya ditempati Agnesh dan Aurel saat ingin pulang ke rumah.
Kaki jenjangnya menyusuri jalan setapak, masih dengan menggunakan seragan sekolahnya serta tas gendong yang berisi buku-buku pelajaran. Agnesh dengan semangat menuju ke arah rumah kecil di depan sana.
Sesampainya di depan rumah itu, Agnesh tersenyum. Senyum yang tersirat akan kerinduan dan kesedihan. Dia rindu masa-masa bermain dengan Aurel, dia rindu masa-masa dimana dirinya selalu merakit mahkota dari rumput bersama dengan Aurel. Semua itu dilakukannya hanya berdua, karena memang hanya Aurel-lah sahabat satu-satunya seorang Agnesh.
"Udah berapa lama kita nggak main kesini ya Aurel," gumam Agnesh. Sekan-akan Aurel masih berada di sisinya.
Agnesh duduk di depan rumah itu, kakinya terayun-ayun dengan syahdu mengikuti irama angin. Rumah kecil ini, berada di lingkungan perumahan orang-orang yang cukup ramai. Membuat Agnesh ataupun Aurel tak pernah takut sekalipun harus berkunjung ke rumah ini malam hari.
Cukup lama Agnesh duduk-duduk di sana, hingga gemericik air membuatnya bangkit dan menaiki rumah itu. Dipandangnya rintik-rintik air yang mulai berjatuhan dengan teratur. Agnesh menghembuskan napasnya, mungkin malam ini dia akan menginap di rumah ini saja. Biarlah nanti dia terkena amukan Ayahnya, yang terpenting untuk saat ini, Agnesh ingin mengenang kebersamaannya dengan Aurel.
Sepatu mulai gadis itu lepaskan, kakinya mulai melangkah menuju ke arah dalam rumah itu. 'Lumayan kotor,' batin Agnesh saat melihat debu yang cukup tebal dikaos kakinya.
Meletakkan tasnya di atas kursi, Agnesh mulai berjalan menuju pojok ruangan, mengambil sapu dan mulai menyapunya. Membersihkan debu-debu yang menempel pada barang-barang disana dengan kain yang juga tersedia di pojok ruangan bersama dengan alat-alat kebersihan lainnya.
30 menit berlalu, dan Agnesh telah selesai membersihkan rumah itu. Rumahnya dengan Aurel kembali bersih, sama seperti dulu waktu Agnesh dan Aurel sering berkunjung kesini. Agnesh meregangkan sejenak otot-ototnya, lalu berjalan keluar ruangan untuk sekedar melihat hujan telah berhenti ataukah belum.
"Eh, Nduk Agnesh ada disini. Sudah lama toh Nduk, ndak berkunjung kesini."
Mendengar suara seseorang yang menyebut namanya, membuat Agnesh segera menoleh ke sumber suara itu berasal. Dan di sana, sudah ada seorang Ibu-Ibu yang berdiri dengan senyum manis di wajahnya.
Agnesh tersenyum, setelah melihat siapakah gerangan yang memanggilnya. "Hehe, maaf Mbok. Sekolah lagi sibuk banget," sahutnya.
"Mbok Ningsih mau kemana malam-malam begini?" sambung Agnesh seraya berjalan mendekat ke arah Mbok Ningsih, perempuan yang menyapa Agnesh tadi.
Sesampainya dihadapan Mbok Ningsih, Agnesh menyalimi tangannya dan mengajak Mbok Ningsih untuk masuk ke dalam. Mbok Ningsih pun dengan senang hati menerima tawaran Agnesh, dia juga sangat merindukan gadis ini, gadis yang kerap mendapatkan siksaan dari Ayahnya.
"Mbok belum jawab pertanyaannya Agnesh nih, Mbok mau kemana?" tanya Agnesh sekali lagi dengan candaan yang jarang sekali dapat orang temui.
Mbok tersenyum. "Ndak mau kemana-mana Nduk, cuma lihat-lihat sekitar aja. Eh ndak tahunya malah ketemu Nduk Agnesh disini," sahutnya dengan senyum yang mengembang.
Melihat senyum dari Si Mbok membuat mata Agnesh berkaca-kaca. "Mbok, Agnesh mau peluk Mbok, boleh?"
Mbok yang awalnya menghadap ke arah jendela, seketika langsung membalikkan badannya. Terkejut tentunya, melihat Agnesh yang seperti sedang mati-matian menahan air mata agar tak jatuh. Mbok manganggukkan kepalanya tanpa ragu, membuat Agnesh beranjak dengan segera dan merengkuh tubuh perempuan itu dengan erat.
Tumpah sudah air mata yang sedari tadi Agnesh tahan, pelukan ini, pelukan yang sudah lama tak dia jumpai. Pelukan yang dulu selalu menjadi rebutan antara dirinya dan Aurel. Pelukan yang selalu menjadi penenang saat dirinya resah.
"MBOK," teriak Agnesh dan Aurel dari kejauhan saat melihat Mbok Ningsih sedang menyapu halaman.
Mbok Ningsih yang melihat itu segera meletakkan sapunya, beralih merentangkan tangannya untuk menyambut Agnesh dan Aurel yang baru berusia 10 tahun waktu itu.
GREP
Agnesh lebih dulu memeluk Si Mbok, membuat Aurel yang berada di belakangnya mengerucutkan bibirnya. "Wleee, duluan aku wleee," ejek Agnesh pada Aurel dengan menjulurkan lidahnya.
Aurel yang melihat itu semakin kesal dan mulai beraksi untuk menjauhkan tubuh Agnesh dari Si Mbok. "Gantian dong Agnesh, kan aku juga mau peluk Mbok," ujar Aurel dengan raut kesalnya.
Mbok yang melihat itu terkekeh geli. "Sudah-sudah, ndak perlu rebutan toh, sini-sini peluk Mbok semua," ujar Si Mbok disertai rengkuhan yang diberikannya pada Aurel.
Perlakuan Mbok Ningsih membuat Agnesh dan Aurel tersenyum bahagia, sejak berusia 7 tahun keduanya sering bermain-main ke rumah Si Mbok hanya untuk sekedar menyesap teh jahe buatan Mbok Ningsih yang sangat lezat. Tanpa sepengetahuan orang tuanya masing-masing tentunya.
"Agnesh kalau nanti aku nggak kesini lagi, kamu harus sering-sering kunjungi Mbok ya," ujar Aurel waktu itu dengan kalimat candaannya.
Tangisan Agnesh semakin menjadi saat mengingat-ingat momen bersama Aurel. Mendengar isak tangis yang semakin menjadi itu,Â
Mbok melepaskan rengkuhan Agnesh dibadannya dan berusaha menghadapkan tubuh gadis itu menghadap dirinya.
"Nduk Agnesh, Nduk kenapa nangis toh?" tanya Mbok Ningsih dengan tangan yang menggenggam kedua tangan Aurel.
Agnesh semakin menangis histeris. "Aurel Mbok, Aurel..."
Mbok Ningsih semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan Agnesh, tetapi melihat Agnesh yang semakin menangis histeris dan kedatangan gadis itu yang hanya seorang diri membuktikan bahwa ada yang sedang tidak baik-baik saja.
Mbok Ningsih kembali memeluk tubuh Agnesh untuk meredakan kesedihan yang gadis itu rasakan. Beberapa saat kemudian, Agnesh melepaskan pelukannya, matanya kembali sembab karena menangis. Mbok Ningsih tersenyum, senyum yang memiliki banyak makna.
"Sudah mau cerita ke Mbok?" tanya Mbok Ningsih melihat Agnesh yang sudah lumayan tenang walau masih sesegukan.
Agnesh mendongakkan kepalanya. "Maafin Agnesh Mbok, Agnesh gagal," ujarnya seraya menundukkan kepalanya kembali.
"Gagal kenapa Nduk? Jangan setengah-setengah atuh kalau cerita sama Mbok," sahut Mbok Ningsih.
Agnesh kembali mendongakkan kepalanya, "Aurel sudah nggak ada Mbok, Agnesh sudah kehilangan sahabat Agnesh."
Agnesh menunduk dalam, air matanya kembali siap untuk jatuh. Gadis itu menyimpan dalam-dalam tangisannya. Karena sedari tadi Mbok Ningsih sudah melihat dirinya menangis tanpa alasan yang jelas. Sedang Si Mbok hanya terdiam, kalimat yang keluar dari mulut Agnesh membuat dirinya tak lagi bisa berpikir positif.
Bersambung...
Stay tuned untuk chapter berikutnya yang ga kalah menarik yaa!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H