Mohon tunggu...
IndahPutri R
IndahPutri R Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Talak Tilu

25 April 2017   20:53 Diperbarui: 29 April 2017   17:28 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mana nyeri nyeri nyeri teuing
 Ceurik ati di tambelakan
 Henteu benang ku disabaran
 Aduh alah ieung
 Tega teh teuing”

Rasanya Anggi ingin berkata kasar saat suara khas Bungsu Bandung memenuhi indra pendengarannya. Mengabaikan panggilan ibu, bergegas ia menyincing sepatu hitam beserta satu set kaus kaki dari rak samping kamar, sebelum dengan agak tergesa memakainya didepan pelataran rumah.

“Anggi!”        

Anggi merubah air mukanya segera.Lebih merengut, bahkan kini ada 3 lipatan bertengger didahinya.Jelas`lah sudah perkara pertama dihari ini. Anggi membenci ibunya, sama kuatnya dengan rasa ben`cinya kepada penjual kaset di depan rumah tua samping rumahnya, yang selalu memutarkan lagu “Talak Tilu” disetiap harinya.

“Anggi, sarapanlah terlebih dahulu, baru setelah itu kamu berangkat. Lagipula sekarang masih pukul lima.”

Wanita itu berdiri disamping pelataran rumah, tepat disamping Anggi, disaat Anggi sukses menamatkan simpul tali sepatunya. Bahkan Anggi merasa dirinya tak perlu menoleh, apalagi menjawab pertanyaan yang wanita itu lontarkan. Maka jelaslah perkara kedua, Anggi berangkat ke sekolah, tanpa restu dari sang ibu.

“Indit sore tulunyungna subuh

Pukul setengah enam tepat. Anggi menduduki kursi terdepan sambil merengut.. Lagi.Batinnya. Anggi menoleh kearah kanan, mendapati sang pelaku tengah asik dengan dunianya.

“Lis?”

Panggil Anggi pelan.

“Abdi tunduh mukakeun tulak..

Batin nyeuri ceurik sorangan”

Gadis berdarah sunda itu malah fasih melanjutkan gumamannya. Jengah, Anggi memutuskan untuk mengambil langkah lanjutan.Ditepuklah pundak gadis itu dengan cukup keras, tergagap, gadis tadi menoleh kearahnya sambil tersenyum canggung.

“Eh, Anggi. Kenapa?”

Ada alasan mengapa gadis secantik Anggi tidak memiliki satu temanpun disekolah.Salah satunya adalah karena gaya bahasanya. Sebagai contoh,disaat banyak orang memilih cara halus untuk menasehati seseorang, maka cara yang ditempuh Anggi sungguhlah berkebalikan.

“Bisakah kau hentikan lagu itu? kampung.”

Perkara ketiga hari ini, Anggi sukses melukai hati seseorang.

Pagi menjelang siang, Anggi perlahan larut dalam kesibukannya sebagai pelajar. Berkutat dengan tugas. Batinnya menjerit mengingat tiap bebannya. Anggi menoleh keluar jendela, tepat lurus kearah lapangan upacara, yang merangkap fungsi sebagai lapangan futsal dan voli.

“Anggi, bisakah kamu menolong ibu untuk mengerjakan soal nomer 13?”

Anggi tentunya sangat mengenal suara khas itu.Ditolehkanlah kepalanya, hanya untuk mendapati sang guru dan separuh isi kelas tengah menatap kearahnya.Bergegas ia melirik buku catatannya. Kosong. Sepanjang penjelasan tadi, ia hanya hanyut dalam lamunannya.

“Anggi? Maju kedepan, dan kerjakan soal nomer 13.”

Anggi menyerah, dengan gontai ia langkahkan kakinya menuju papan tulis. Soal telah tertulis rapi disana, menyisakan tanda tanya besar bagi Anggi. Apa yang harus ia lakukan?

Maka tersisalah Anggi disana, tetap berdiri, dengan keringat yang mulai meluncur turun, tangan bergetar, dan mata memanas. Bisa ia rasakan bisikan anak-anak dibelakangnya, beberapa berbisik iba,beberapa dengan nada mengolok.Bahkan, salah satu dari mereka nekat berceletuk

Aduh alah ieung
 Tega teh teuing”

Total 4 perkara sudah terjadi hari ini.

Tepat saat matahari memuncak, Anggi tegak berdiri ditengah lapangan. Bukan, bukan karena ia mendapat hukuman atau semacamnya. Entah kesialan apa yang membuatnya harus mendapatkan jam olahraga di siang hari.

“Baiklah, untuk kegiatan kali ini, silahkan berkumpul menurut kelompok masing-masing”

Suara bariton sang pelatih menggema di terik matahari. Anggi melengos mendapati dirinya terpaksa harus berkumpul bersama teman sekelompoknya. Matahari masih setia dipuncaknya, begitupun Anggi yang masih setia berada di puncak kekesalannya.

“Untuk setiap ketua kelompok, terlebih dahulu menemui saya untuk penjelasan materi”

Sungguh Anggi berharap tidak ada tambahan perkara untuknya dihari ini.Sungguh.

“Materinya futsal, yaudah lah ya. Tinggal main aja.”

Anton yang menjabat sebagai ketua kelompok kembali dengan 2 bola futsal di kedua tangannya. Anggi melirik anggota kelompoknya, terdiri atas 5 orang, dan 4 anggota selain dirinya adalah laki-laki. Anton, Fajar, Akbar, dan Nugroho. Meskipun Anggi terkenal sebagai murid yang tidak peka terhadap lingkungan, bukan berarti ia sama sekali tidak mengetahui kondisi di sekolahnya. Itulah sebabnya ia dengan jelas mengetahui bahwa semua anggota kelompoknya adalah anggota klub futsal.Bahkan bias dibilang bahwa mereka berempat bukanlah sekedar anggota futsal biasa.Anton sang ketua, Fajar si penjaga gawang ternama, Akbar yang terkenal dengan ke akuratan tendangannya, dan yang terakhir, Nugroho dengan kekuatan tendangannya.

“Anggi, bantuin guedong!”

Disana Nugroho, diujung lapangan dengan bola futsal digenggaman.

“Apa?”

Nugroho mengedikkan kepalanya kearah sudut lapangan, Anggi mengikuti pandangannya, disana Anton, dan Fajar nampak tengah berlatih. Anton menendang, Fajar menangkap, dan bergantian setelahnya. Anggi mengangguk paham, memberi kode kearah Nugroho bahwa dia siap. Nugroho bersiap dengan kuda-kudanya, begitupun Anggi.Dengan lekat Anggi mengamati tiap gerakan Nugroho, mengantisipasi semaksimal mungkin terjadi kegagalan

“Nyeri-nyeri moal benang di ubaran
 Kajen tutumpuran paeh ge teu panasaran”

Saat mendengar lagu tersebut, sekejap fokus Anggi hancur berantakan. Kepalanya menoleh kearah sumber suara, bersiap mengeluarkan kata kasar sebelum

“Brukk..”

Nugroho sukses mendaratkan  tendangannya di kepala Anggi

Tendangan yang sukses menambah satu perkara di hidup Anggi hari ini.

“Mempeng ngora keneh
 Mempeng urang can batian
 Pek geura serahkeun
 Talak tilu sakalian”

Diiringi lagu Talak Tilu, Anggi perlahan membuka kedua bola matanya. Mencoba memahami situasi, ia akhirnya dapat mengingat tiap kejadian dengan tepat. Hal itu membuatnya tak perlu lagi menanyakan asal usul bebatan dikepalanya kepada gadis dipojok ranjang.

“syukurlah kamu sudah sadar”

Anggi mendapati si gadis Talak Tilu tengah memandangya dengan senyum merekah.Liska namanya, gadis yang tadi pagi mendapatkan semprotannya.

“kenapa harus lagu itu?”

Liska terlebih dahulu menarik kursi, mendekat kearah Anggi. Kini pandangan mereka sejajar, jeda sedetik sebelum Liska memulai pembicaraan

“ Yah, selain karena lagu ini merupakan ciptaan kakekku, ada alasan lain kenapa aku sangat menyukai lagu itu. Memang artinya agak tragis, tentang seseorang yang membulatkan tekat untuk menceraikan suaminya, karena tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya.”

Anggi menyerngit, mulutnya terbuka, hendak menyela. Namun, Liska dengan cepat mengintrupsi.

“Tapi, aku rasa hidup kita lebih tragis dari tokoh ‘aku’ dilagu tersebut. Dia tersiksa, namun dia tetap memiliki pilihan. Pilihan untuk lepas dari rasa tersiksanya. Sedang kita? Terbelenggu dalam rutinitas tanpa ada satupun pilihan”

Kalimat tersebut terlalu dewasa, bahkan untuk seorang Liska sekalipun. Anggi memegang bebatannya,menoleh canggung kearah jam dinding disamping ranjangnya. Tepat pukul 17.00.

“tentu kita punya pilihan. Pilihan untuk menerima, atau mempertanyakan tiap alur hidup kita”

Ini pertama kalinya Anggi membuka mulutnya, hanya untuk menanggapi masalah hidup orang lain. Tidak pernah hal ini terjadi sebelumnya. Tidak pernah juga Anggi menasehati seseorang dengan sesuatu yang sebenarnya masih ia pertanyakan, sesuatu yang masih melayang menghantui logikanya, dan hal itu merupakan perkara terakhir Anggi pada hari ini.

Bel pulang berdering, mengisi kelenggangan ruang unit kesehatan sekolah. Anggi dan Liska sama-sama membisu. Hingga akhirnya, Anggi memutuskan untuk mengambil tas dan bergegas menyimpulkan tali sepatu hitamnya.

Raja siang telah lengser, digantikan oleh sang senja. Warna langit kian melembut seiring berjalannya waktu. Hiruk pikuk jalanan tetap ramai, bahkan rasanya tak ada kata lenggang di jalanan ibu kota. Anggi melangkah cepat, kini posisinya persis didepan toko kaset depan rumah tua samping rumahnya.

“Henteu butuh lalaki curaling
 Boga rasa asa ieu aing
 Henteu robah teu eling-eling”

Bait terakhir melayang diudara, Anggi melangkah cepat, dengan mulut yang tanpa sengaja menggumam ‘Aduh alah ieung,tega teh teuing’.

Anggi membenci sang ibu, namun ia kembali pulang. Ia membenci sekolah, tugas, dan teman satu sekolahnya, namun dalam hati ia merindu. Ia membenci lagu tersebut, namun tanpa sadar bergumam. Logikanya merasa ia belum menentukan pilihan di jalan hidupnya, namun nyatanya. Ia berjalan, dengan pilihan ditiap langkahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun