Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Main-Main dengan (Surat) Cinta

9 Juni 2024   15:41 Diperbarui: 9 Juni 2024   15:50 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jangan Main-Main Dengan Cinta (Sumber: Pexels/Vija Rindo Pratama)

                Riyanti memainkan jarinya sambil duduk di ruangan ekskul jurnalis. Ia sedang tidak ingin ngapa-ngapain dan melarikan diri dari jam kosong di kelasnya. Ruang kelasnya terlalu riuh, sehingga ia ingin sedikit ketenangan sambil memikirkan kegalauan hatinya.

                Suara pintu terbuka membuat Riyanti menengok dengan malas. Afif berdiri di pintu, memandanginya, sebelum memutuskan masuk dan duduk di dekatnya.

                "Aku mencarimu. Ternyata kamu di sini," ucap Afif.

                "Hmm," gumam Riyanti. Dari seluruh temannya, seharusnya Afiflah yang paling tahu kalau ia sedang sangat bte.

                "Move on, dong," ucap Afif pelan.

                "Malas. Mungkin memang aku nggak bakat," balas Riyanti.

                "Yang namanya lomba itu, siapa yang menang tergantung pada selera juri. Dari pada kamu terus-terusan cemberut, mending kita bikin lomba sendiri, yuk."

                "Bikin lomba apa?" tanya Riyanti tanpa rasa antusias.

                "Sembarang, lomba pantun, kek. Lomba nulis surat cinta, kek. Supaya kita bisa jadi dewan juri yang terhormat. Yang keputusannya tidak bisa diganggu gugat," ucap Afif dengan mimik muka lucu.

                Riyanti tersenyum kecil, sedikit tergelitik. Ide Afif boleh juga. Lagipula sudah satu minggu ia uring-uringan sendiri gara-gara ia gagal di tiga lomba menulis yang diikutinya. Ia sampai pada tingkat kurang percaya diri bahwa ia punya bakat menulis. Ngapain juga ia bertahan jadi pengurus di ekskul jurnalis, kalau ternyata ia tak becus menulis!

                "Lomba menulis surat cinta kayaknya lucu ya, Fif. Itu kan kayak mama papa kita zaman dulu, suka nulis surat cinta. Anak zaman sekarang kayak kita mah geli sama yang begituan."

                "Lucu kan, ideku? Yuk, kita bikin aja. Nanti bu Alexa juga kita minta jadi juri. Jadi jurinya aku, kamu, sama bu Alexa," ucap Afif menyebut nama guru Bahasa Indonesia.

                "Boleh, deh. Coba kamu konsep pengumuman lombanya, ya? Aku akan spill di grup WA ekskul jurnalis."

                "Siap, bu ketua!" ucap Afif merasa gembira idenya bisa menciptakan senyum di bibir Riyanti.

--

                Lomba menulis surat cinta sudah digelar. Bu Alexa juga menyambut baik ide lomba tersebut. Beberapa surat dari peserta sudah terkumpul di kotak penyetoran naskah lomba di ruang ekskul jurnalis.

                Riyanti membaca seluruh naskah lomba yang jumlahnya ada 17 naskah. Afif juga membaca semuanya. Nanti mereka berdua akan memilih lima terbaik, dan dari situ bu ALexa akan menentukan siapa yang berhak menjadi juara.

                Riyanti senyum-senyum membaca salah satu kandidat surat juara, dari seorang cowok kelas dua yang dikenalnya:

                Kepada perempuan bernama Ri

                Tadi malam aku melihat bulan, full moon

                Apakah kamu juga melihatnya?

                Apakah bulan itu menyampaikan salamku?

                Nggak?

                Ish, bulan jahat. Padahal aku sudah nitip salam supaya disampaikan padamu, kalau aku suka kamu, Ri.

                Tapi karena bulan ingkar janji, bahkan sampai sekarang kamu nggak tahu, kalau aku selalu menyimpan benih-benih rindu. Hanya padamu, Ri.

                Ri, maukah kamu aku ajak nonton film horror di 21 besok? Aku ingin kamu menjerit ketakutan agar aku bisa meminjamkan tanganku untuk menutup mata indahmu. Biar kamu nggak ketakutan lagi. Biar kamu merasa aman. Karena ada aku yang selalu di sisimu.

                "Jelek. Norak," ucap Afif ketika melihat untuk kesekian kalinya Riyanti membaca surat cinta dari salah satu peserta lomba itu.

                "Bagus, eiy. Langsung menyentuh hatiku. Masuk lima besar versiku."

                "Bagus mana sama surat bikinan Sarah ini?" Afif mengangsurkan sebuah surat yang sudah dibaca juga oleh Riyanti.

                "Ganjen itu mah," ucap Riyanti.

                "Mana ada, coba baca baik-baik," ucap Afif.

Surat Sarah

                Kakak yang baik, sudah lama Sarah menyimpan perasaan ini, tanpa tahu bagaimana harus mengatakannya. Sarah sudah setengah mati mencoba menyembunyikan perasaan, tapi setiap kali melihat kakak lewat, deburan ombak seakan menggila di dalam hati Sarah. Tapi Sarah malu mengatakannya, Kak.

                Kakak yang baik, melalui surat ini Sarah ingin menyatakan bahwa Sarah cinta...cinta...cinta...dan sayang sama Kakak. Tak ada yang lain yang bisa membuat Sarah tersenyum, kecuali Kakak seorang. Sarah menunggu jawaban Kakak, atas pernyataan Sarah ini. Adakah perasaan yang sama dalam hati Kakak untuk Sarah?

                Bu Alexa hanya tersenyum-senyum saat menerima 6 surat dari Riyanti dan Afif dan bukan 5 surat seperti perjanjian awal. Riyanti menjelaskan bahwa itu karena mereka berbeda pendapat soal dua surat yang sering mereka ributkan.

                "Ibu jadi ingin tahu, kalau kalian sendiri sebenarnya pernah bikin surat cinta tidak? Kalau ibu kan memang zaman ibu remaja dulu sering bikin, baik untuk diri sendiri maupun bikinin teman. Kalau kalian? Masih yakin bisa jadi juri yang baik di lomba ini?"

                Riyanti terdiam. Jelaslah ia tidak pernah membuat surat cinta. Memangnya buat siapa? Afif juga menggaruk-garuk kepalanya.

                "Coba kalian buat surat cinta ya, Riyanti buat untuk Afif, demikian juga sebaliknya," ucap bu Alexa.

                "Hah?" Riyanti melotot mendengar ide bu Alexa. "Ngapain saya bikin surat cinta buat Afif. Saya kan nggak cinta sama dia, Bu!"

                "Ya, dari pada pusing mau nulis surat buat siapa, coba kamu tulis saja. Bayangkan saja kebaikan-kebaikan Afif selama ini ke kamu. Pasti mudah bikin surat cintanya."

                Riyanti tertawa, menoleh ke Afif, "Kamu nggak merasa aneh, nulis surat cinta ke aku?"

                Afif hanya tertawa kecil, agak getir sebenarnya. Ia agak sakit hati mendengar Riyanti tadi mengatakan bahwa "Saya kan nggak cinta sama dia, Bu!" Mereka kan, sudah berteman lama. Masak disuruh buat surat cinta saja langsung ditolak mentah-mentah begitu.

                "Nggak aneh, sih. Kayaknya aku bisa nulis surat cinta buat kamu. Kan, aku penulis profesional, masak nulis surat cinta saja nggak bisa. Tunggu ya, surat cintaku?"

                Desir tipis terasa di hati Riyanti. Tapi ia masih merasa bahwa ini konyol.

--

                Mereka berkumpul lagi di ruang ekskul jurnalis. Riyanti tidak membawa surat karena ia bingung mau nulis apa. Afif menyerahkan sepucuk surat padanya. Lalu duduk di depannya.

                "Serius, kamu bikin surat cinta buat aku, Fif?" tanya Riyanti sambil mulai membuka surat dari Afif.

                Kepada perempuan bernama Ri

                (Riyanti tersenyum kecil)

                Aku tidak ingin meniru siapapun. Apalagi meniru kekonyolan anak ingusan yang mengirimkan salam pada bulan. Kenapa ia menyalahkan bulan untuk sebuah salam yang tidak disampaikan, padahal ia tahu sendiri bulan hanyalah benda mati yang berada sangat jauh dari kita. Berteriak sekeras apapun, bulan tidak akan mendengar suaranya. Apalagi, bulan tidak punya telinga.

                Aku ya aku, Afif. Sahabatmu yang sudah tiga tahun ini membersamai langkahmu. Berdua kita bahu membahu memajukan ekskul jurnalis. Berpeluh saat mengejar berita di sekitaran sekolah, idemu dulu untuk mencoba menjadi citizen journalism. Mengikuti berbagai lomba jurnalisme antar sekolah yang ingin kau ikuti. Berperan dalam setiap denyut jantung memajukan ekskul kesayangan kita bersama.

                Aku secinta itu pada jurnalisme. Mungkin orang menyebut jurnalisme ecek-ecek, karena kita baru anak SMA. Tapi aku suka. Dan aku bangga. Dan aku selalu mengalami ekstasi saat sedang melakukan tugas-tugas jurnalisme. Aku secinta itu pada jurnalisme. Walau kadang aku ingin menguji rasa cintaku ini. Benarkah aku murni mencintai jurnalisme saja, atau karena ada kamu di sini. Atau karena sejak pertama aku sudah terpikat pada bening bola matamu, yang kadang penuh semangat membicarakan ide-ide, yang kadang penuh api amarah jika ada ketidakadilan terjadi di sekitarmu, yang kadang menyiratkan sedih kala galau melanda hatimu.

                Kamu sudah mengikatku erat dalam kerjap bola matamu. Aku tidak bisa berpaling.

                Kepada perempuan bernama Ri, aku mencintaimu.

                Riyanti memegang kertas surat Afif dengan gemetar. Ia mendongak menatap mata Afif. Cowok itu mengedipkan mata sambil nyengir.

                "Bagaimana, keren kan, surat cintaku? Kau mengakui kalau aku jago menulis surat cinta, kan?"

                Riyanti tergeragap, lalu mengangguk.

                "Eeeh ... iya, ehm, surat ini bagus sekali. Sayang tidak ikut lomba. Kalau ikut, aku sudah memilihnya menjadi juara," ucap Riyanti sambil tersenyum, mencoba menutupi jantungnya yang berdegup.

                Afif tersenyum kecil, mengambil kembali surat dari tangan Riyanti.

                "Mau aku serahkan pada bu Alexa," ucapnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Riyanti yang terpaku sendiri. Perasaan Riyanti terombang-ambing, antara khayalan dan kenyataan. Dan degup jantungnya tak juga mau enyah.**

                 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun