Desir tipis terasa di hati Riyanti. Tapi ia masih merasa bahwa ini konyol.
--
        Mereka berkumpul lagi di ruang ekskul jurnalis. Riyanti tidak membawa surat karena ia bingung mau nulis apa. Afif menyerahkan sepucuk surat padanya. Lalu duduk di depannya.
        "Serius, kamu bikin surat cinta buat aku, Fif?" tanya Riyanti sambil mulai membuka surat dari Afif.
        Kepada perempuan bernama Ri
        (Riyanti tersenyum kecil)
        Aku tidak ingin meniru siapapun. Apalagi meniru kekonyolan anak ingusan yang mengirimkan salam pada bulan. Kenapa ia menyalahkan bulan untuk sebuah salam yang tidak disampaikan, padahal ia tahu sendiri bulan hanyalah benda mati yang berada sangat jauh dari kita. Berteriak sekeras apapun, bulan tidak akan mendengar suaranya. Apalagi, bulan tidak punya telinga.
        Aku ya aku, Afif. Sahabatmu yang sudah tiga tahun ini membersamai langkahmu. Berdua kita bahu membahu memajukan ekskul jurnalis. Berpeluh saat mengejar berita di sekitaran sekolah, idemu dulu untuk mencoba menjadi citizen journalism. Mengikuti berbagai lomba jurnalisme antar sekolah yang ingin kau ikuti. Berperan dalam setiap denyut jantung memajukan ekskul kesayangan kita bersama.
        Aku secinta itu pada jurnalisme. Mungkin orang menyebut jurnalisme ecek-ecek, karena kita baru anak SMA. Tapi aku suka. Dan aku bangga. Dan aku selalu mengalami ekstasi saat sedang melakukan tugas-tugas jurnalisme. Aku secinta itu pada jurnalisme. Walau kadang aku ingin menguji rasa cintaku ini. Benarkah aku murni mencintai jurnalisme saja, atau karena ada kamu di sini. Atau karena sejak pertama aku sudah terpikat pada bening bola matamu, yang kadang penuh semangat membicarakan ide-ide, yang kadang penuh api amarah jika ada ketidakadilan terjadi di sekitarmu, yang kadang menyiratkan sedih kala galau melanda hatimu.
        Kamu sudah mengikatku erat dalam kerjap bola matamu. Aku tidak bisa berpaling.
        Kepada perempuan bernama Ri, aku mencintaimu.