Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

KKN Pilihan

KKN, Bukan Kisah Kasih Nyata

3 Juni 2024   22:29 Diperbarui: 3 Juni 2024   22:57 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KKN bukan Kisah Kasih Nyata (Sumber: pexels/Hong Son)

KKN, Kisah-Kasih Nyata

KKN selalu dapat dipanjangkan menjadi Kisah-Kasih Nyata. Itulah yang membuatku begitu bersemangat menjalani pembekalan KKN setiap minggu. Berkumpul dengan para mahasiswa dari berbagai fakultas yang berbeda di kampusku, tentu sangat menarik. Selama hampir tiga tahun hanya bergaul dengan teman-teman satu fakultas, terus terang aku sudah bosan. KKN menjadi jalan ninja untuk cuci mata dan ... yah, siapa tahu bisa dapat pacar.

Walaupun memiliki wajah yang lumayan cantik -- kata orang, tapi aku tak seberuntung kawan-kawanku yang memiliki kekasih hati selama duduk di bangku kuliah ini. Aku sendiri merasa tak ada kawan lelakiku yang cukup menawan untuk kujadikan pacar. Kalaupun ada yang kutaksir, biasanya dia tak naksir diriku. Jadinya aku harus puas menjomlo saja sepanjang masa kuliahku ini.

Tapi di masa KKN? Masak sih, aku tidak bisa dapat pacar?

Suara dosen berbicara di depan ratusan mahasiswa membawaku kembali dari lamunan. Dosen itu menjelaskan bahwa tahun ini adalah tahun terakhir kampus kami menggunakan Kabupaten Lumajang sebagai lokasi KKN. Tahun ini pula, jumlah mahasiswa yang mendaftar KKN membludak, sehingga kami harus menerima nasib bahwa satu desa akan dihuni oleh 48 mahasiswa KKN!

What!

Aku melotot, ini sih kayak bedol satu kelas sendiri. Tapi mungkin dengan begini aku akan mempunyai lebih banyak pilihan. Siapa tahu dari ke-48 mahasiswa, jika setengahnya lelaki -- jadi 24 orang lelaki itu semuanya good looking, dan salah satunya bisa jadi pacarku. Hmm, hmm, aku mesam-mesem sendiri.

Nurni, teman seangkatan yang duduk di dekatku menyenggol lenganku, "Ngapain, sih?"

"Ada, deh..."

Kami segera mendapatkan pembagian desa tujuan dan kelompok. Aku ternyata satu desa dengan Wira dan Dion, dari fakultasku. Nurni berada di desa yang lain, cukup jauh dari desaku. Vitri, sahabatku yang lain, juga berada di desa lainnya.

Aku, Wira, dan Dion segera berkumpul untuk mendiskusikan program fakultas. Kami membicarakan rencana untuk menerapkan ilmu yang kami dapat di bangku kampus ke desa tempat kami akan KKN.

"Kita bikin ternak lele di gentong saja," ucap Wira. "Gampang caranya. Lagipula kalau berhasil, untungnya besar, lho. Bisa meningkatkan pendapatan warga desa."

Aku iya-iyain saja dan membiarkan Wira dan Dion berdiskusi lebih lanjut. Kami harus menyelesaikan 'program' dalam hitungan menit, lalu kami berkumpul sesuai kelompok dengan 45 mahasiswa lainnya dari berbagai fakultas.

Tak makan waktu lama aku segera akrab dengan Tia, Nara, Silvy dan Ratih. Kami berlima selalu bersama selama di Desa Padang, nama desa yang menjadi tempat tinggal kami selama dua bulan KKN di Lumajang.

Di Desa Padang

Seminggu sudah kami tinggal di Desa Padang. Aku mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakbetahan, yaitu sembelit. Aku susah sekali buang air besar karena tempat buang air besar hanya di jamban. Duh, biar sudah jongkok bermenit-menit, tidak ada yang bisa keluar. Tia menemani aku jalan menuju puskesmas desa untuk numpang nongkrong di sana, tapi yang kutunggu-tunggu tak kunjung keluar.

Urusan ke belakang baru lancar ketika aku sudah dua mingguan tinggal di Desa Padang. Kami terdiri dari 22 mahasiswi dan 26 mahasiswa. Yang mahasiswi tinggal di rumah Pak Inggi, sebutan kepala desa di Lumajang. Hanya ada dua kamar, kami bagi tiap kamar ada 11 mahasiswi. Kamarnya tidak besar sehingga kami tidur berjajar seperti ikan pindang.

Mahasiswa yang 26 orang itu mendapatkan rumah kosong tak jauh dari rumah Pak Inggi.   Entah bagaimana mereka mengatur diri di rumah itu. Aku sendiri jarang ke rumah para mahasiswa cowok. Para cowok-cowok itu justru senang nongkrong di rumah tempat cewek-cewek tinggal. Rumah kami cukup luas. Teras dan ruang tamu luas sehingga teman-teman cowok bisa duduk-duduk atau gegoleran di situ. Yang penting tidak masuk ke kamar cewek, hehehe.

Dari 26 cowok itu masak iya tidak ada yang menarik perhatianku? Iya. Ada. Sebut saja namanya Frans, anak teknik. Tapi orangnya pendiam banget, sedangkan aku pemalu. Mana bisa klop?

Frans bersahabat dengan Glenn. Dan Glenn ini dekat sekali dengan Nara, salah satu teman cewek se-gank ku. Tapi berbeda dengan Glenn yang tak pernah absen mengunjungi rumah para cewek untuk bertemu dan bercanda dengan Nara, Frans jarang kelihatan. Kalaupun ada, dia hanya duduk diam-diam dan senyumnya mahal banget. Semakin bikin aku penasaran, kan? Tapi sumpah walaupun aku naksir Frans, perasaan ini selalu dapat aku sembunyikan, bahkan dari teman-teman dekatku yang empat orang itu.

Suatu hari sepulang dari mandi di sungai (ada MCK di sungai), kami singgah di rumah para cowok. Di situ aku dengar kalau kaki Frans baru saja disengat kalajengking. Ih, pasti sakit sekali, kan, disengat kalajengking. Kalajengking itu kan lambang scorpio ya, dan bintangku itu scorpio. Jadi aku merasa bersalah karena Frans tersengat kalajengking. Halu banget gak sih, diriku? Wkwkwk...

Nah, aku lihat Frans lagi duduk-duduk, tapi wajahnya jelas menahan rasa sakit. Salah satu kakinya tampak dibalut perban.

"Katanya kamu digigit kalajengking, ya?" tanyaku hati-hati.

"Iya, nggak papa kok, sudah diobati," jawabnya.

"Kok nggak papa, sih? Digigit kalajengking kan, bahaya. Itu kan, beracun. Kamu nggak ke dokter? Nggak ke puskesmas?" tanyaku beruntun sok-sok peduli padahal modus gitu. Eh, nggak ding, aku benar-benar perhatian. Maksudku menunjukkan perhatian, gitu.

Frans tersipu malu, "Nggak papa, kok."

Lah, tengsinlah aku. Di situ ada beberapa teman termasuk Nara. Tapi mereka sepertinya tidak sadar apa yang terjadi. Aku tipe orang yang kurang gigih, jadi ya sikap Frans yang dingin-dingin empuk, membuatku berkesimpulan bahwa aku hanya sepihak dalam menyimpan rasa. Dan karena merupakan gadis yang punya gengsi tinggi, akupun menyudahi rasa naksirku dan memutuskan untuk fokus bersenang-senang selama masa KKN. Kututup pintu kesempatan untuk melukis warna yang lebih romantis di masa KKN itu.

Ending yang membuatku yakin

Meskipun sampai KKN usai aku tetap menjomlo, aku tak merasa ngenes-ngenes amat. Aku begitu gembira melewatkan masa KKN bersama keempat sahabatku. Ternyata kami semua termasuk sebagian besar teman di Desa Padang, juga masih beberapa kali bikin reuni di tempat-tempat wisata di Kota Malang, usai masa KKN.

Walau masih sering curi-curi pandang ke arah Frans, tapi aku sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk menjadikan dia pacarku. Orangnya sedingin kulkas, sih. Males aku.

Lalu suatu kali ada kesempatan lagi aku berada sangat dekat dengan Frans. Waktu itu ada kabar yang sangat menyedihkan. Lara, salah satu teman KKN kami, meninggal dunia. Kami teman-teman KKN-nya pergi melayat. Aku lupa bagaimana aku bisa sampai di rumah Lara, namun aku ingat sekali bahwa kemudian aku diantar pulang sama Frans.

Aku juga lupa kenapa Frans yang kemudian memboncengku pulang. Padahal banyak teman cowok yang lain yang ikut ke rumah Lara. Jarak rumah Lara ke rumahku sekitar 10 km, lumayan jauh dan menyenangkan untuk menghabiskan waktu dalam perjalanan itu bersama Frans. Tapi aku sudah bilang kan, dia pendiam sekali dan aku pemalu. Sehingga dalam perjalanan itu, sepertinya kami tak banyak bicara.

Frans menurunkan aku tepat di depan rumahku. Rumah kami waktu itu digunakan sebagai restoran. Kokinya mamaku sendiri. Usai turun dari boncengan Frans, aku menggunakan kesempatan terakhir kalinya (karena belum tentu kami akan bertemu lagi), untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa Frans benar-benar nggak ada rasa sama aku.

"Yuk, Frans, masuk dulu ke rumah," ajakku.

"Nggak, aku mau balik karena tadi teman-teman cowok mau lanjut ke rumah Alex."

"Lho, kamu mau balik lagi? Singgah sebentar aja deh, ntar kubikinin kopi, deh. Atau mau roti bakar juga ada."

"Nggak, Nov. Makasih banyak. Aku balik ya?"

"Bener, nggak mau mampir, nih?"

"Iya, makasih, Nov."

Frans benar-benar bersiap untuk pergi. Aku pun mengangguk. Rupanya memang tak ada harapan kami bisa bersama. Rupanya memang tak ada setitik pun rasa di hatinya untukku.

Aku melambaikan tangan dan tersenyum. Melepas mantan calon kekasih yang pergi melaju dengan motornya, membelah jalanan menuju arah Timur kota Malang.

Inilah ending yang membuatku yakin bahwa KKN buatku bukanlah Kisah-Kasih Nyata. Mungkin lebih ke Kenalan-Ketemu-Ngilang. Karena kemudian Frans, ngilang selama-lamanya dari hidupku.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten KKN Selengkapnya
Lihat KKN Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun