Siang hari itu, saat tengah asyik menyantap makan siang di kantin bersama salah satu teman kantor, hp saya berdering. Rupanya ada telepon dari gurunya si bungsu, hmm, langsung sedikit was-was.
Benar juga kecemasan saya, bu guru meminta saya menjemput bungsu karena ia demam. Saya segera menyelesaikan makan siang, lalu pergi menjemput bungsu.
Saat sampai di rumah, baru saja masuk dan hendak menyuruh bungsu ganti baju lalu baring di kasur - sudah ada suara salam dari luar pagar.
Saya intip ada dua ibu-ibu. Dalam hati saya, kok peminta sumbangan gercep amat tau orang baru pulang.
Ooh, ternyata bukan peminta sumbangan, tapi dua ibu pendata Regsosek 2022. Akhirnya saya dapat giliran juga. Mereka segera saya persilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Yang mendata hanya satu orang (memakai nametag), yang satu sepertinya hanya menemani karena tidak memakai nametag dan tidak berkontribusi dalam mewawancara.
Sayang saya lupa menanyakan nama keduanya. Kita sebut saja si petugas bu Wulan, dan temannya bu Sari.
"Ini pendataan dari BPS, kan?" tanya saya.
"Iya, dari BPS," jawab bu Wulan.
"Maksud saya, beneran pegawai BPS atau bagaimana?"
"Saya tenaga lepas yang sudah ditraining BPS untuk kebutuhan pendataan ini, Bu. Saya orang sini saja, tinggal di Blok F," jelas bu Wulan. Lalu ia minta KK saya.
Setelah saya serahkan KK, bu Wulan langsung mengisi formulir yang terdiri dari dua lembar kertas bolak-balik. Sambil mengisi, ia menanyakan beberapa hal.
"Semua anaknya ini tinggal dalam 1 rumah?" tanya bu Wulan
"Tidak. Anak sulung saya di pesantren. Tidak perlu didata?" jawab saya sekaligus bertanya lagi.
"Tidak, Bu. Nanti didata oleh petugas yang di lokasi pesantren," jelas bu Wulan. Lalu ia bertanya lagi, "Ibu pakai telepon rumah? Pasti tidak, kan?" dengan pede ia mencentang di formulir.
"Eeh, saya pakai telepon rumah," ucap saya sambil menunjuk pesawat telepon di sudut ruangan.
Bu Wulan tertegun.
"Itu masih berfungsi? Masih ada yang menelepon?" ia bertanya tak percaya.
"Iya, masih berfungsi. Kami tidak cabut karena ibu saya di Malang, dulu tidak suka menelepon menggunakan ponsel. Jadi dia selalu menelepon pakai telepon rumah. Tapi sekarang sudah jarang beliau menelepon sih, saya yang telepon pakai ponsel," jelas saya.
Dua ibu di depan saya ber "ooo" lalu manggut-manggut.
"Ibu adalah orang pertama yang saya survei yang masih memiliki telepon rumah," komen bu Wulan sambil menghapus centangannya yang salah. Untung pakai pensil.
Saya terbahak, "koreksi, bu. Saya orang pertama yang belum memutus telepon rumahnya - yang ibu temui."
Bu Wulan manggut-manggut tertawa.
"Bapak sama ibu belum lanjut studi, ya?" bu Wulan bertanya lagi dan siap mencentang.
"Lanjut studi bagaimana?" tanya saya.
"Ini gelarnya?" tanya bu Wulan menanyakan apakah kami S1, S2 atau S3.
"Ooh kami sudah lanjut semua. Ini gelarnya bapak," saya tunjukkan gelar suami di KK yang rupanya tadi tidak ia lihat. Sedang gelar saya di KK memang belum disematkan.
Selanjutnya tidak ada hal lain yang dikonfirmasi oleh bu Wulan. Jenis lantai dan kondisi bangunan rumah mungkin langsung dia isi sendiri dengan observasi langsung.
Ia melihat ada motor di teras rumah, lalu menanyakan apakah kami punya sepeda biasa yang saya iyakan, karena sepeda disimpan di dekat tangga.
Ia tidak menanyakan apakah kami punya mobil atau tidak. Saat itu jelas tempat parkir mobil lagi kosong karena mobil dibawa suami. Saya tidak tahu apakah ia langsung menyimpulkan kami tidak punya atau punya, atau memang pertanyaan terkait kepemilikan mobil tidak ada.
Saat formulir sudah terisi dan bu Wulan sudah mau pulang, saya berkata,
"Syukurlah keluarga kami sudah didata. Biasanya nggak ada orang di rumah. Waktu saya ketemu bu RT, bu RT bilang akan diusahakan mendata sore atau malam."
"Iya, sempat bu RT memberi pesan ada warganya yang harus didata sore, tapi saya tidak hafal yang mana. Tadinya saya sedang mau mendata di rumah itu," bu Wulan menunjuk rumah di seberang, "...tapi waktu melihat ibu datang, yang punya rumah bilang...'cepatki ke rumah depan dulu, karena jarang di rumah itu ibu...sebentar baru ke sini lagi' ... jadi saya cepat-cepat ke sini," jelas bu Wulan sambil tertawa.
"Ooh begitu," ucap saya sambil dalam hati mengapresiasi tindakan tetangga saya.
Regsosek ini memang akan berhasil jika didukung oleh peran serta masyarakat. Baik dengan menjadi objek pendataan yang baik dengan menjawab pertanyaan secara jelas dan tanpa ditutupi, maupun membantu petugas menentukan strategi yang tepat dalam menemui orang-orang (baca:tetangga) yang sering tidak ada di rumah.
Catatan untuk Petugas Regsosek 2022
Setiap rumah tangga memiliki karakternya sendiri-sendiri, tidak bisa disamaratakan, tidak bisa digeneralisasi. Setelah mewawancara sekian puluh rumah tangga dan semuanya menjawab A, kita tidak boleh berasumsi bahwa rumah tangga berikutnya akan menjawab A juga. Kita harus selalu menanyakan, dan selalu siap dengan jawaban yang berbeda. Contoh konkrit dari hal ini adalah kepemilikan telepon rumah yang saya ceritakan sebelumnya.
Kita juga tidak boleh berasumsi semau kita sendiri menyimpulkan identitas orang, seperti menyimpulkan responden A pasti tidak lanjut studi, atau responden B pasti studi sampai jenjang tertinggi. Untuk mendapatkan data yang valid, petugas tetap harus menanyakannya. Bahkan menurut saya boleh saja bertanya bukti ijazah S3, misalnya responden menjawab bahwa ia sudah doktor.
Terakhir, semangat dan sukses selalu para petugas pendata Regsosek 2022. Tugas Anda sangat penting untuk validitas data penduduk Indonesia. Bravo!**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H