Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Good Morning, Mr. Han

19 Juni 2022   22:03 Diperbarui: 19 Juni 2022   23:13 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Good Morning, Mr. Han (Sumber: ig hanjipyeong_team)

Lagu tema serial Doraemon terdengar tiba-tiba di tengah-tengah hening kantorku. Hening yang nggak nyaman karena semua editor sedang berusaha mengejar deadline pekerjaan, sebelum agenda rapat siang pukul 14.00.

"Aaah, aku sangat butuh kantong ajaib, nanti aku ambil alat ajaib 'mesin yang dapat mengedit sendiriii!' ... dan pekerjaanku akan cepat kelar, dan tidak stress setiap harus setor out put ke bos!" keluh Srini, editor paling muda di kantor.

Lagu Doraemon sukses memecah keheningan karena kemudian terdengar gerutuan dari mulut Ernest dan teriakan senang Klara karena sudah berhasil menyelesaikan tenggatnya.

"Ayo, kita makan dulu. Bekerja terus tidak akan menaikkan performa. Kita tetap butuh makan!" ajak Ernest. Kami bertiga segera mengikutinya ke ruang makan. 

Aku, Srini, Ernest, dan Klara adalah empat editor yang bekerja di 'Gema Publishing', sebuah penerbitan buku di Kota Jogja. Kantor kami kecil, hanya berupa rumah tipe 36 yang dirombak sehingga mirip kantor. Ada ruang tamu tempat sekretaris dan bendahara bekerja di sebuah ruangan bersekat yang memisahkan mereka dengan set mebelair untuk tempat duduk tamu. 

Satu ruang kamar disulap untuk ruangan editor, dan satu lagi untuk ruangan bos kami. Ada ruang makan dan pantry, dan sebuah ruang semi terbuka untuk rapat dengan meja panjang, juga tentunya dua kamar mandi.

Bos kami bekerjasama dengan percetakan lain untuk proses pembuatan buku. Jadi aktivitas kami di kantor hanyalah memilih naskah layak dari ratusan yang masuk setiap minggunya, mengedit hingga jadi lebih layak jual, lalu mengirim ke percetakan untuk dicetak jadi buku. Urusan penjualan diselesaikan oleh ibu bos yang memiliki kantor di tempat lain lagi. 

Salah satu alasan mengapa aku senang bekerja di Gema adalah bosnya sangat memanusiakan kami. Tiap pukul 12.00, lagu Doraemon akan berbunyi tanda waktu istirahat tiba. Makan siang dalam bentuk katering sudah siap di ruang makan. Dan itu bukan katering sembarang katering karena dipesan dari katering 'Ramah-Sehat', milik kakak bos. 

Makanannya tiap hari ganti menu, nggak pernah membosankan. Kami digaji hanya dua juta perbulan, tapi dengan fasilitas makan siang mewah, gaji segitu sudah cukup buatku yang masih lajang. 

Ernest satu-satunya yang sudah menikah, selain bos. Dia dapat tambahan tunjangan sehingga gajinya lebih tinggi dari kami. 

Dan selain gaji serta makan siang yang enak, kadang kami dapat bonus juga, jika ada buku yang best seller. Karena itulah kami editor bekerja tak kenal lelah menggali timbunan naskah di daftar email maupun naskah print out. Mencari naskah yang layak poles, jadi batu biasa berubah intan berlian berkat mata jeli dan otak dagang para editor Gema.

"Ayo, ayo kita segera makan. Ingat jam dua kita rapat, ya," Pak Ivan bos kami sudah ada di meja makan dan membuka kotak katering. Kami segera mengambil tempat. Menu hari ini sayur lodeh non santan, ayam bakar madu, dan tumis buncis, serta buah jeruk. Aku makan dengan semangat. Editanku hampir kelar jadi aku harus cepat-cepat makan. Aku makan tanpa suara, tak menimpali Ernest yang ngobrol seru dengan Pak Ivan.

Srini sepertinya juga enggan ngomong banyak. Aku tahu pekerjaannya masih banyak karena ia nekad nonton drakor sistem SKS tadi malam. Dasar Srini.

Kami akan rapat rutin menyerahkan hasil editan untuk dikirim ke percetakan, lalu sekaligus melaporkan beberapa naskah yang layak diapprove kantor.

----

Pukul dua tepat aku sudah siap di meja panjang. Aku langsung mengirimkan hasil editan ke Pak Ivan yang sudah duluan hadir di meja rapat. Ia membaca dengan sistem skimming. Tapi ia tak pernah detail membaca hasil editan kami karena dia sudah sangat percaya pada kinerja kami.

"Coba kamu ikut lomba ini, Nit. Kamu suka nonton drakor, kan?" ucap Pak Ivan menunjukkan sebuah flyer di laptopnya. 

Aku membaca info lomba menulis cerpen Fan-fiction. 

"Fan-fiction?" tanyaku, lalu tertawa kecil.

"Cobalah. Bapak ingin para editor juga secara kontinyu melatih keahlian menulis. Lomba-lomba kecil begini bagus untuk melatih daya imajinasi membuat naskah fiksi. Lama-lama kita nggak butuh penulis luar, kalian aja yang nulis buku di Gema. Gajinya bisa nambah lagi, kan?"

"Saya mau coba, Pak!" Srini yang sudah beberapa saat masuk ruang rapat, langsung tanggap dan mengajukan diri.

Pak Ivan menggeleng.

"Kamu jangan dulu. Kamu kan masih editor pemula. Fokus dulu ngedit."

Srini merengut, aku mengulum senyum. Teman-teman yang lain berdatangan, sehingga kami segera rapat.

----

Seperti biasa walaupun jam kantor usai pukul empat sore, aku sampai di rumah pukul lima bahkan kadang mendekati maghrib. Setelah membersihkan diri, aku harus ke penginapan sederhana yang ada pas di samping rumah, membantu tanteku yang memiliki usaha penginapan. Tepatnya meneruskan usaha kakek dulu. 

Wajah tante langsung cerah melihatku datang. Ia langsung nyerocos tentang Sukiat, tenaga bagian bersih-bersih yang tidak masuk gara-gara anaknya sakit. Tante memintaku untuk membersihkan kamar nomor 5 yang baru saja ditinggalkan tamu, karena akan ada tamu lain yang segera masuk.

Walaupun sebenarnya aku capai sekali, terpaksa tetap aku turuti karena aku tahu tante juga sudah capai. Aku segera membersihkan kamar nomor 5, sebelum tamu yang sudah booking kamar itu datang. Untungnya saat aku selesai membersihkan, tamu itu belum kelihatan batang hidungnya.

Aku segera menggantikan tante di meja resepsionis. Penginapan sederhana ini memang kurang tertata secara manajerial. Ini usaha keluarga yang dikelola secara sederhana. Dulu hanya kakek, nenek, dan dua pembantu yang mengerjakan semua. Sekarang tante hanya bekerja sendiri mengurus pemesanan dan tetek bengek komplain. Sukiat tenaga kebersihan. Diandra, sepupuku, datang membantu tiap pagi hingga tengah hari. Dan aku tiap usai maghrib sampai pukul 21.00.

"Hallo, good morning, I am Mr. Han who already order room number 5. Is my room ready?" seseorang tiba-tiba sudah ada di hadapanku, bertanya dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu advance. Aku mendongak, masyaAllah. Apa aku tidak salah lihat?

Hmm, tapi tadi kenapa dia menyapa dengan kalimat sapaan selamat pagi?

"Ooh, Ok. Your room is ready. Let me show you," aku menawarkan diri. Pak Han mengangguk dan menolak tawaranku untuk membawakan tas kabin yang dibawanya.

Aku segera mengantarnya ke kamar yang baru saja kubersihkan. Aku mengucapkan selamat istirahat dan akan segera berlalu, ketika ia memintaku menunggu. Apakah ia akan memberiku tip? Ternyata bukan.

"I am hungry," kata Pak Han dengan malu-malu. Lesung pipinya muncul membuat aku hilang keseimbangan sesaat. Kugetok kepalaku sendiri, lalu bertanya.

"Do you want me to order food for you?" tanyaku, lalu menjelaskan bahwa penginapan kami tidak menyediakan dinner. Tidak juga breakfast, apalagi lunch.

"Do you mind if i ask you to accompany me go around looking for dinner?"

Tanda-tanda apa ini? Dia bukan keong racun yang baru kenal sudah ngajak dinner, kan? Tapi demi menjadi tuan rumah yang baik, aku harus memberikan kesan baik. Jadi aku menyatakan bersedia menerima lamarannya ... eh, tawarannya untuk cari makan. Karena aku juga harus mempromosikan makanan khas Jogja, maka aku mengajaknya ke warung mi godog paling enak di dekat penginapan.

Tak kuduga, Pak Han sangat suka mi godog.

"Mengapa kamu seolah tidak takut pada saya?" tanya Pak Han dalam bahasa Inggris. "Apa kamu kenal saya?"

Aku diam sesaat, apakah aku harus membeberkan fakta bahwa seluruh penggemar drakor Indonesia mengenalnya? Tapi bukankah dia sedang patah hati? Tapi kenapa aku tak melihat tanda-tanda kesedihan lagi di raut mukanya?

"Mengapa kamu tadi menyapa saya dengan ucapan selamat pagi?" tanyaku. "Ini kan sudah malam."

"Ooh, itu karena saya sangat suka pagi hari. Dan bukankah orang Indonesia apalagi yang suka ikut pelatihan, kalau mengucapkan salam biar pagi, siang, malam selalu mengucapkan selamat pagi pagi pagi? Biar semangat katanya, kan?"

Aku terbahak tidak habis pikir. Kok pak Han tahu kebiasaan yang kuanggap aneh itu, ya? Apa dia pernah ikut pelatihan di kantor pemerintah Indonesia? Pak Han ikut-ikut tertawa ... duh lesung pipi itu. Fix, dia pasti sudah tidak patah hati lagi. Dia mungkin ke Indonesia untuk mengobati sakit hati yang ia rasakan, ditinggalkan cewek yang dicintainya.

Aku tersenyum, dan mengucapkan pelan-pelan, "Good morning, Mr. Han Ji Pyeong ..."

----

"Niniiiiit! Niniiiit! Banguuuun!" suara cempreng tanteku mengusir bayangan Han Ji Pyeong pergi dari hadapanku. Tante menggoyang-goyang badanku.

"Ish, sudah tee, Ninit sudah bangun."

"Lama sekali tante tunggu, ternyata kamu malah ketiduran. Tamu yang mau masuk kamar nomor 5 batal masuk malam ini, tapi besok pagi."

Aku terduduk dan sepenuhnya sadar. "Siapa nama tamu itu, Te?"

"Pak Han..."

"Han Ji Pyeong?!?!" teriakku kaget.

"Hush!" tante menoyor kepalaku, "Handokooo. Bukan Han Ji Pyeong. Sana pulang sudah hampir jam sepuluh malam. Besok kan kamu harus kerja."

Aku mengusap wajahku. Ya, Allah. Mimpi yang nyata banget, makan mi godog sama Han Ji Pyeong. Bahkan rasa gurih mi godog masih terasa di lidahku. Rasanya aku tak rela itu hanya sekadar mimpi. Hmm, tapi paling tidak, aku sudah dapat ide nulis naskah cerpen untuk lomba fan-fiction yang diinfokan Pak Ivan tadi siang.** 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun