Mohon tunggu...
Indah Permata Sari
Indah Permata Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Farmasi, FMIPA, Universitas Sriwijaya

find me on my blog : https://www.indahladya.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen: Kenangan Tujuh Tahun Lalu

19 Juli 2020   22:46 Diperbarui: 19 Juli 2020   22:36 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono, 1989)

***

Hujan kembali mengguyur kota hari itu. Seperti biasa, bulan Juni bak menjadi bulan hujan di setiap tahunnya. Setiap rintik hujan seolah membisik pada satu rindu.

"Pagi yang indah untuk kembali menghadap layar laptop"

"Masih berkutat di satu draft?", tanya nya.

"Iya, masih, perlu bantuan mas?"

Rutinitas pagi yang mungkin membuat orang terheran-heran mengapa aku masih betah bersamamu yang bahkan berjalan pun tak bisa.

"Tidak, sayang. Lanjutkan saja draftnya, semangat ya!", jawabnya sambil menyeruput kopi hitam yang telah aku siapkan untuknya.

***

"Mas, aku pergi antar anak ke sekolah dulu ya! Nanti siang mau disiapkan makanan apa?"

"Ah tak perlu, sayang, mas saja yang masak ya!"

Ya, kau memang selalu begitu, selalu berusaha untuk membuat aku merasa terbantu dengan hadirmu dalam meringankan segala tugas dan kewajibanku. Maka tak heran, siapa sih yang tak betah untuk hidup bersama mu, Mas?

***

"Sayang, mengapa? Kok nangis? Ada apa?"

Aku bersyukur telah dilimpahkan Tuhan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi bisik-bisik tetangga akan kehidupanku, namun kali ini aku tumbang. Dan sekali lagi, hanya kau lah yang mampu menguatkan aku dan bangkit kembali dari lautan duka.

Jemarimu membelai hangat helai-helai rambut panjangku seolah berkata "kita kuat bersama, sayang"

Oh Tuhan, terimakasih telah mengirimkan laki-laki ini untukku. Laki-laki yang aku sanggupi untuk hidup setiap hari dengannya. Dan bahkan tak sanggup aku untuk memikirkan bagaimana hidupku tanpa ada dirinya, tak pernah, dan tak akan pernah.

Kumohon, Tuhan, aku tak mau.

***

Hujan kembali membangunkan ku hari itu, namun dengan pagi yang tak lagi sama.

Ternyata Tuhan lebih sayang engkau, Mas.

Aku memandang sejenak foto mesra kita di sudut kamar, oh terasa indah sekali. Andai bisa ku kembali ke tujuh tahun yang lalu untuk menikmati setiap detik bersamamu, Mas.

Kini, aku sendiri, menutup telinga dari apa yang mereka tuduhkan. Biasanya kamu disini, Mas. Biasanya kamu yang menguatkan aku, tujuh tahun yang lalu.

***

Pada suatu hari nanti

Jasadku tak akan ada lagi

Tapi dalam bait-bait sajak ini

Kau tak akan kurelakan sendiri

Pada suatu hari nanti

Suaraku tak terdengar lagi

Tapi di antara larik-larik sajak ini

Kau akan tetap kusiasati

Pada suatu hari nanti

Impianku pun tak dikenal lagi

Namun di sela-sela huruf sajak ini

Kau tak akan letih-letihnya kucari

(Pada Suatu Hari Nanti; karya Sapardi Djoko Damono, 1986)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun