Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
(Sapardi Djoko Damono, 1989)
***
Hujan kembali mengguyur kota hari itu. Seperti biasa, bulan Juni bak menjadi bulan hujan di setiap tahunnya. Setiap rintik hujan seolah membisik pada satu rindu.
"Pagi yang indah untuk kembali menghadap layar laptop"
"Masih berkutat di satu draft?", tanya nya.
"Iya, masih, perlu bantuan mas?"
Rutinitas pagi yang mungkin membuat orang terheran-heran mengapa aku masih betah bersamamu yang bahkan berjalan pun tak bisa.
"Tidak, sayang. Lanjutkan saja draftnya, semangat ya!", jawabnya sambil menyeruput kopi hitam yang telah aku siapkan untuknya.
***
"Mas, aku pergi antar anak ke sekolah dulu ya! Nanti siang mau disiapkan makanan apa?"
"Ah tak perlu, sayang, mas saja yang masak ya!"
Ya, kau memang selalu begitu, selalu berusaha untuk membuat aku merasa terbantu dengan hadirmu dalam meringankan segala tugas dan kewajibanku. Maka tak heran, siapa sih yang tak betah untuk hidup bersama mu, Mas?
***
"Sayang, mengapa? Kok nangis? Ada apa?"
Aku bersyukur telah dilimpahkan Tuhan kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi bisik-bisik tetangga akan kehidupanku, namun kali ini aku tumbang. Dan sekali lagi, hanya kau lah yang mampu menguatkan aku dan bangkit kembali dari lautan duka.
Jemarimu membelai hangat helai-helai rambut panjangku seolah berkata "kita kuat bersama, sayang"
Oh Tuhan, terimakasih telah mengirimkan laki-laki ini untukku. Laki-laki yang aku sanggupi untuk hidup setiap hari dengannya. Dan bahkan tak sanggup aku untuk memikirkan bagaimana hidupku tanpa ada dirinya, tak pernah, dan tak akan pernah.
Kumohon, Tuhan, aku tak mau.
***
Hujan kembali membangunkan ku hari itu, namun dengan pagi yang tak lagi sama.
Ternyata Tuhan lebih sayang engkau, Mas.
Aku memandang sejenak foto mesra kita di sudut kamar, oh terasa indah sekali. Andai bisa ku kembali ke tujuh tahun yang lalu untuk menikmati setiap detik bersamamu, Mas.
Kini, aku sendiri, menutup telinga dari apa yang mereka tuduhkan. Biasanya kamu disini, Mas. Biasanya kamu yang menguatkan aku, tujuh tahun yang lalu.
***
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau tak akan kurelakan sendiri
Pada suatu hari nanti
Suaraku tak terdengar lagi
Tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti
Impianku pun tak dikenal lagi
Namun di sela-sela huruf sajak ini
Kau tak akan letih-letihnya kucari
(Pada Suatu Hari Nanti; karya Sapardi Djoko Damono, 1986)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H