Mohon tunggu...
Shlaalauyubi
Shlaalauyubi Mohon Tunggu... Penulis - pelajar

penelaah kata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ruang Raung Pena

17 Mei 2024   13:51 Diperbarui: 17 Mei 2024   13:53 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

RUANG RAUNG PENA.

"Melihatnya seperti ini terus. Terasa sedih, gundah dan kasihan. Tapi, kenapa dia tidak melawan? Dia tidak bisu, tuli, lumpuh, buta, atau apapun. Dia masih bisa melawan, bukan? Kalau dia tidak melawan biar aku yang membantunya untuk melawan..."

 Namanya Risma alizmah, siswi kelas 2 es-em-a yang punya kebiasaan berdiam tanpa kata, selalu dianggap parasit, dia dianggap boneka jalang, dan selalu saja menjadi bahan candaan yang berlebih; di  bully oleh orang teman-teman sekelasnya, hingga kakak tingkatnya. Mungkin setiap gerak-gerik atau ucapannya yang dia utarakan selalu terlihat salah, padahal apa yang dia lalukan adalah perilaku normal. Sampai aku selalau iba padanya, dia yang selalau diam dalam-dalam diam setiap harinya; tanpa secerca kata pun kecuali ya dan tidak.

 "Setiap hari, aku berfikir bahwa kenapa harus dia yang menjadi korban, dia-kan normal-normal saja seperti yang lainnya. Apa salah dia, sih? Hingga saat ini aku yang selalu duduk disampingnya hanya selalu melihat dirinya yang tertunduk dan menulis seusatu di buku diari hitamnya dengan dengan pena merah jambunya..." gumam dalam renungku.

 Mungkin hari ini juga dia akan diam lagi, lagi dan lagi. Sampai, aku yang selalu duduk di sebelahnya ikut murung dan mulai teringat saat aku pernah bersamanya dulu. Pulang dari sekolah, menuju rumah dengan berjalan kaki dan menenteng tas.  

 Di tengah jalan menuju rumah, di atas jembatan penyebrangan, diantara lalu lalang orang dia berhenti begitu saja. Tertunduk lesu. Lantas aku yang ada disampingnya juga ikut berhenti dan mengajaknya untuk menepi sejenak.

 "Kamu kenapa?" tanyaku.

 Dia tidak menjawab.

 Dia mulai terisak-isak menangis. Aku panik. Aku terus bertanya padanya ada apa? Mengapa kamu menangis? Tapi dia selelu menjawab tidak apa-apa aku baik-baik saja. Ya, aku tau itu adalah jawaban yang sederhana bila ditanya kenapa, tapi seorang Risma teman sebangkuku yang tiap harinya selelu menjadi bahan tertawanya para iblis yang kehilangan hati, menurutku bukan lah hal yang bagus baginya untuk berkata aku baik-baik saja.

 Mulai hari itu, aku bertekad untuk mendapatkan jawaban atas dasar apa dia selalu seperti ini. Aku tahu mungkin awan saja bisa menangis setiap hari kala melihatnya selalu sendiri dengan memedam rasa sakit yang dideritanya. Aku malu, angin pun malu, hujan, pun malu, bahkan air mataku dan tawaku malu dengan dirinya yang selalu di selimuti sendu. Tapi, hari itu dia jatuh tanpa sebab.

                                                                        ***

"Ris, inilah waktunya kamu balas semua itu..." ucapku.

Dia hanya melirih tipis dengan geleng kecil.

"Ris, aku mohon! Tinjukkan karyamu... tunjukkan karyamu yang terakhir ini, sebelum kamu pergi aku mohon berilah aku satu karya terakhirmu..." tangisku di samping ranjang tempat dia berbaring lesu dengan infus.

 Ini adalah hari dimana dia harus segera bangkit dari tidurnya dan ciptakan sebuah perubahan di mata para penindasnya, dengannyalah aku berdoa bersama matahari yang hangat mulai meraba meja, kursi, dan kasur yang di tiduri Risma. Deru pendingin ruangan yang sedari jam berdetak meniti waktu berjalan begitu saja, aku yang terisak memegang tangan kanannya berharap dia akan menulis karya terakhirnya untukku.

 Alangkah sendu hati ini saat dia lemah terbaring dan tidak bisa apa-apa, tapi detik-detak itu dihamcurkannya begitu saja walau hanya lewat tangan kirinya yang mencoba meraba pensil yang ada di meja. Aku yang masih terisak-isak cengeng, merasakan getaran tubuhnya yang memaksa dirinya untuk meraih pensil itu. Aku terbangun.

"Hah, Ris... kamu jangan maksa gitu, Ris, aku mohon..." cegahku.

Dia acuh dan tetap mencoba mengambil pensil itu.

"Baiklah, tunggu sebentar... aku akan ambilkan untukmu"

 Aku beri dia pensil itu, lalu aku berikan diari hitam dia yang dua hari lalu dia titipkan kepadaku. Kemudian, aku bantu dia untuk duduk dan memberinya meja untuk menulis. Aku hanya bisa termenung membelakangi jendela yang cahaya matahari mulai redup tertutup awan.

                                                                        ***

 Di aula sekolah, acara sudah dimulai sedari tadi. Semua peserta sudah bersiap-siap dan membaca-baca karya-karyanya masing-masing dengan perlahan untuk membayang-bayangkan bagaimana nantinya ketika tampil. Waktu terus bergulir sedangkan aku masih berlari menuju sekolah,walau kini aku sudah sampai disebrangnya dan sedikit terengah-engah.

 Di dalam, Laura yang sang penanggung jawab acara mencari Risma kemana-mana sampai dia menunggu di luar gedung aula sampai terjongkok-jongkok dan meneduh dibawah pohon. Aku melihatnya dan diapun melihatku. Dia mendekat.

"Yub! Kamu kemana aja?" jegat Laura.

"aku... aku abis dari ruamah sakit... Risma... Risma..." jawabku sambil terengah-engah.

"Risma! Kenapa lagi?" Kaget Laura.

                                                                        ***

Di atas panggung, aku telah berdiri dengan gagah walau air mataku tidak tertahan untuk berhenti berjalan ke dagu. Para penonton riuh kebingungan, sebenarnya ada apa dengaku? Kenapa aku lebih dulu menangis? Mungkin itulah beberapa pertnayaan yang lewat bolak-balik dari mulut ke-mulut sependengaranku didepan sini. Mungkin waktu telah menyeruku untuk menghilangkan rasa yang diberi Tuhan, yaitu rasa sedih.

"Melihatnya seperti ini terus. Terasa sedih, gundah dan kasihan. Tapi, kenapa dia tidak melawan? Dia tidak bisu, tuli, lumpuh, buta, atau apapun. Dia masih bisa melawan, bukan! Kalau dia tidak melawan biar aku yang membantunya untuk melawan..." gumamku.

Lantas mulai aku tarik nafas dalam dan mulai berbicara.

 "Saya Shala Al-auyubi, saya teman sebangku orang yang seharusnya tampil disini, dan sekarang orang yang seharusnya maju dan membacakan karyanya sedang berjuang menantang maut di ruang oprasi sana. Dan saya akan bacakan apa yang dia tulis dengan judul 'Ruang Raut Pena'... dan inilah karyanya..." Permainan lampu mulai dilakukan, alunan biola mulai terdengan perlahan, aku sudah cerita semuanya kepada para panitia bahwa untuk memperingati Risma yang tengah berjuang kita akan buat sebuah pentas khusus untuknya, karena aku juga telah membuat live lewat kamera ponselku yang terhubung dengan televisi yang ada di rumah sakit, jadi Risma bisa mendengar sedikit suara aku membaca puisi walau dia tidur dalam bius.

Aku mulai membaca puisi itu.

"aku adalah manusia yang tengah meneduh dibawah kalian.

Awan.

Tiap kali aku pergi

Kalian mengikutiku kemana

Aku pergi. Awan

Memang aku tenang di sini. Di bawah kalian; Awan.

Walau,

Aku hanya bersama angina, rumput,

batu dan pohon.

Kadang kala kalaian tampak hitam dan benar-benar menutupi suami sang bulan yang terik. Bahkan, tiadak ada bilik cahaya pun yang keluar.

Di sini gelap, dingin, dan membuat aku takut.

Kala itu kalian mengabariku dengan kata-kata

Tetes hujan bahwa kalian membenci aku.

Kalian tidak ingin aku jadi awan atau bintang, bahkan jadi belalang saja kalian sudah membuat aku jatuh dengan tetes air itu.

Walau akhirnya aku sendiri memang akan ada di bawah kalian terus, dengan sendiri, dengan anggapan kalaian kepadaku sebagai boneka jalang yang tiap harinya menjadi buntut awan.

 Tapi, bukankah kalian yang membawaku untuk jadi penampung air kalian?

Hingga kini, aku tenggelam dalam hujan. Tidak bisa mendengar apapun, tidak bisa lihat apapun, mungkin hanya ada suara letusan gelembung yang keluar dari hidung dan telingaku tau mulutku. Aku pasti akan benar-benar menjadi seperti ini kala kalian menjadi badai pekan lalu.

Tapi, aku bangga. Bangga dengan kalaian yang telah menganggapaku ada, dan akau memohon maaf dengan saat bahwa ingatlah aku lewat ruang raut pena ini. Mungkin karena esok aku tidak akan ada lagi, aku akan pualng kepelukan tangan tuhan, jadi... selamat tinggal kawan... dan dariku cukup hanya sampai disini... sekian".

 Aku terpejam saat membacanya, menangis, dan kata-kata itu merasuk kedalam diriku. Tapi, ketika perlahan aku mendengar kan tapuk tangan yang teramat meriah, siulan yang saling bersautan dan gemuruh haru. Tapi, kenapa semakin lama aku mendengarkan gemuruh tadi telingaku seperti tersumpal air dan dan saat aku membuka mata semua penonton hilang dan semua yang ada di hadapanku lenyap tinggal aku sendiri di ruangan itu dengan tersorot lampuyang berkedip-kedip. Kemudian, ada langkah seseorang yang berjalan di belakangku. Aku ingin berbalik, tapi badan ini kaku seketika. Lalu dia mendekatiku dan berbisik.

"Bangunlah dan buat keajaiban dengan raut pena itu!"

                                                                        ***

"hei! Kamu ngelamun, ya?" sapa Santi.

"Eh, nggak deh, aku nggak ngalamun..." sadarku

"Lho! Terus ngapain diem pangku dagu gitu apa coba? Dari tadi aku minta dibuatin puisi, kok, belum juga?"

"Eh, iya bentar..." aku lihat kertas yang ada di meja. Tapi, aku bingung. Kertas itu telah terisi. "... Tapi, kenapa kertas yang seharusnya aku menulis disana sudah tertulis dan tulisan itu mirip sekali dengan tulisan aku. Ini tulisan siapa? Setahuku tulisan ini bukan aku yang tulis. Tapi, kok, tulisan itu ternyata sangat mirip sekali dengan apa yang ditulis Risma didalam lamunanku tadi... tapi tunggu, siapa Risma? Selama ini aku belum pernah mengenal seseorang yang namanya Risma... Risma? Siapa dia? ... Risma?" lanjut gumamku, namun ucapan 'Risma' tadi sedikit terdengar oleh Santi.

"Hah? Apa tadi kata kamu? Risma? Siapa dia?" bingungnya.

                                                                        ****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun