***
"Ris, inilah waktunya kamu balas semua itu..." ucapku.
Dia hanya melirih tipis dengan geleng kecil.
"Ris, aku mohon! Tinjukkan karyamu... tunjukkan karyamu yang terakhir ini, sebelum kamu pergi aku mohon berilah aku satu karya terakhirmu..." tangisku di samping ranjang tempat dia berbaring lesu dengan infus.
 Ini adalah hari dimana dia harus segera bangkit dari tidurnya dan ciptakan sebuah perubahan di mata para penindasnya, dengannyalah aku berdoa bersama matahari yang hangat mulai meraba meja, kursi, dan kasur yang di tiduri Risma. Deru pendingin ruangan yang sedari jam berdetak meniti waktu berjalan begitu saja, aku yang terisak memegang tangan kanannya berharap dia akan menulis karya terakhirnya untukku.
 Alangkah sendu hati ini saat dia lemah terbaring dan tidak bisa apa-apa, tapi detik-detak itu dihamcurkannya begitu saja walau hanya lewat tangan kirinya yang mencoba meraba pensil yang ada di meja. Aku yang masih terisak-isak cengeng, merasakan getaran tubuhnya yang memaksa dirinya untuk meraih pensil itu. Aku terbangun.
"Hah, Ris... kamu jangan maksa gitu, Ris, aku mohon..." cegahku.
Dia acuh dan tetap mencoba mengambil pensil itu.
"Baiklah, tunggu sebentar... aku akan ambilkan untukmu"
 Aku beri dia pensil itu, lalu aku berikan diari hitam dia yang dua hari lalu dia titipkan kepadaku. Kemudian, aku bantu dia untuk duduk dan memberinya meja untuk menulis. Aku hanya bisa termenung membelakangi jendela yang cahaya matahari mulai redup tertutup awan.
                                    ***