Kala itu kalian mengabariku dengan kata-kata
Tetes hujan bahwa kalian membenci aku.
Kalian tidak ingin aku jadi awan atau bintang, bahkan jadi belalang saja kalian sudah membuat aku jatuh dengan tetes air itu.
Walau akhirnya aku sendiri memang akan ada di bawah kalian terus, dengan sendiri, dengan anggapan kalaian kepadaku sebagai boneka jalang yang tiap harinya menjadi buntut awan.
 Tapi, bukankah kalian yang membawaku untuk jadi penampung air kalian?
Hingga kini, aku tenggelam dalam hujan. Tidak bisa mendengar apapun, tidak bisa lihat apapun, mungkin hanya ada suara letusan gelembung yang keluar dari hidung dan telingaku tau mulutku. Aku pasti akan benar-benar menjadi seperti ini kala kalian menjadi badai pekan lalu.
Tapi, aku bangga. Bangga dengan kalaian yang telah menganggapaku ada, dan akau memohon maaf dengan saat bahwa ingatlah aku lewat ruang raut pena ini. Mungkin karena esok aku tidak akan ada lagi, aku akan pualng kepelukan tangan tuhan, jadi... selamat tinggal kawan... dan dariku cukup hanya sampai disini... sekian".
 Aku terpejam saat membacanya, menangis, dan kata-kata itu merasuk kedalam diriku. Tapi, ketika perlahan aku mendengar kan tapuk tangan yang teramat meriah, siulan yang saling bersautan dan gemuruh haru. Tapi, kenapa semakin lama aku mendengarkan gemuruh tadi telingaku seperti tersumpal air dan dan saat aku membuka mata semua penonton hilang dan semua yang ada di hadapanku lenyap tinggal aku sendiri di ruangan itu dengan tersorot lampuyang berkedip-kedip. Kemudian, ada langkah seseorang yang berjalan di belakangku. Aku ingin berbalik, tapi badan ini kaku seketika. Lalu dia mendekatiku dan berbisik.
"Bangunlah dan buat keajaiban dengan raut pena itu!"
                                    ***
"hei! Kamu ngelamun, ya?" sapa Santi.