Aku melirik ke arah walkman itu. "Lalu ... di mana Indira?"Â
Wajah Mira tertunduk lesu, ujung matanya melirik ke  luar kafe. Ia terdiam cukup lama, menciptakan keheningan panjang. Mungkin isi kepalanya sedang merangkai kata, menimbang apakah informasi yang ia berikan akan berpotensi melukai hatiku atau tidak.Â
Dari sorot mata Mira aku tahu, ini bukan kabar yang aku harapkan.Â
"Mbak Indira kabur dari rumah setelah seminggu pindah rumah." Mira memberi jeda setelahnya. "Nahas ... dia mengalami kecelakaan, lalu berakhir koma."Â
Aku tidak mengerti, harus bereaksi bagaimana. Wajahku datar, tapi air mataku tumpah ruah.
"Ia koma cukup lama. Mungkin hampir setahun. Keluarga pun sudah pasrah."
Aku menangis lagi.Â
"Dia sempat sadar, sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Dan permintaan terakhir Mbak Indira adalah memintaku untuk memberikan ini pada Pak Ali." Mata Mira melirik ke arah walkman tua itu. Mengisyaratkan benda itulah yang ingin Indira berikan.Â
Tangan keriputku meraih benda itu dengan gemetar. Memasang headset, lalu menekan tombol untuk memutar kasetnya.Â
"Hai, Ali. Ini aku Indira. Sekarang laguku sudah sempurna. Sesuai janji ... kamu jadi orang pertama yang berkesempatan mendengarkannya.
Oke. Kita mulai saja, ya. Satu ... dua ... tiga."Â
Suara petikan gitar mengalun indah sebagai intro lagu. Kemudian suara merdu Indira terdengar setelahnya. Mataku terpenjam, lalu menangis tersedu. Membayangkan Indira menyanyikan lagu ini di hadapanku. Seperti waktu pertama kali bertemu dengan Indira, gerimis pun turun untuk mendengarkan suara merdu gadis itu.