***
Sama seperti 42 tahun yang lalu, aku masih tetap di sini. Berkarya di pelataran toko roti. Berbeda dengan bagian Kota Bandung yang banyak berubah, sebagian jejeran toko di sini masih mempertahankan orisinalitasnya. Meski ada beberapa yang di bongkar dan dibangun ulang, tetapi kesan 80-an masih terasa.Â
Sore itu, gerombolan preman berulah. Meminta sejumlah uang kepada pedangang-pedangan kecil di gang-gang toko. Suasana tenang menjadi riuh ketika salah satu dari pedagang tidak mau memberikan setoran.Â
Setelah memukuli dan mengancam korban, para gerombolan preman itu pindah ke toko lain dan menagih dengan cara kasar. Mungkin sudah kepalang kesal.Â
Tepat di tempatku, salah satu kawanan mereka mengobrak-abrik alat lukis, serta lukisan-lukisan yang tergantung di pagar.
"Aing kesel setiap datang kemari."
Aku tetap pada posisi yang sama. Meskipun ingin sekali memukul menggunakan stand lukis, aku tidak akan pernah menang. Jumlah mereka cukup banyak. Aku tidak gila untuk kehilangan nyawa sia-sia. Bagaimana nanti kalau Indira datang ke sini mencariku?Â
Kemudian dari arah seberang, seorang pemuda berlari dan meninju salah satu dari preman tersebut hingga jatuh tersungkur.Â
"Kurang ajar! Cepat habisi dia!" titah dari seorang yang paling besar badannya. Ku tebak, dia adalah pemimpin dari gerombolan ini.
Pemuda itu cukup gesit, ia bisa menghalau bogem mentah yang silih berganti datang, berusaha meninju wajahnya. Sampai ketika suara sirene polisi membuat kawanan preman itu kompak lari ke persembunyian.Â
Pemuda itu mendekat ke arahku, lalu membantu merapihkan alat lukis yang berhamburan sampai ke aspal jalanan karena ulah preman tadi. Foto Indira pun ikut terseret ke pinggiran jalan. Aku berusaha berdiri dan mengambilnya.Â