Indira selalu datang ke tempatku yang  berhadapan dengan tempat les musiknya. Sebenarnya aku lebih suka melukis keliling kota. Namun semenjak kenal Indira, aku memutuskan untuk tetap berada di sana.
"Kenapa ayahmu melarang kamu bermusik?" tanyaku pada Indira yang sedang melihat-lihat lukisanku yang terpajang di pagar toko. "Bukannya dia juga seorang musisi?"Â
Indira menghela napas panjang. "Justru karena ayah musisi, makanya ayah nggak memperbolehkanku jadi musisi. Kata ayah, hidup musisi itu berat. Nggak menjamin masa depan."Â
"Oh, begitu. Tapi kelihatannya kamu sangat mencintai musik. Buktinya sampai nekat diam-diam les di sana." Jari telunjukku menunjuk ke depan tempat les.Â
Indira tertawa setelahnya. "Ya begitulah. Tapi ayahku masih tetap pada pendiriannya."Â
Ketika semua orang benci bertemu hari Senin, aku sebaliknya. Hari Senin adalah hari yang paling indah. Aku dan Indira sering berbagi cerita. Tentang apa pun. Kurasa kami memiliki kecocokan dalam banyak hal.Â
"Kamu sudah pernah buat lagu?"Â
"Udah," jawab Indira. "Tepat setelah bertemu kamu pertama kali."Â
"Aku?"Â
"Iya. Kayaknya hari itu aku kebanjiran inspirasi." Indira tertawa renyah.
"Aku boleh dengar?"Â