Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... Penulis - human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menggantung Kebebasan di Halaman Belakang Rumah

28 Oktober 2022   11:42 Diperbarui: 29 Oktober 2022   21:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berjalan menelusuri lorong kampus menuju taman belajar dekat Fakultas Ilmu Budaya. Euforia kelulusan tidak mampu menenggelamkan ingatanku tentang Ani. Sorak sorai gembira serta tangis haru para wisudawan tak mampu menahan air mataku tak tumpah ruah. Kata-kata Ani sore itu, sedikit banyaknya mengubah pikiranku yang sempit kala itu.

Perempuan dengan segala stigma, dilema, bahkan ketidakbebasannya. Di negeri yang sudah merdeka, ternyata masih ada mereka yang belum merdeka di tanah sendiri. Masih banyak dari mereka yang tidak mendapatkan hak-nya. Sebagaian dari mereka dibungkam pendapatnya, ada pula yang tak bisa memilih pilihannya, seperti Ani.

Aku berhenti berjalan sejenak, menatap bendera merah putih berkibar dengan indahnya. Selama 4 tahun kuliah, aku tidak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga pengalaman berharga. Ani benar, tujuan manusia mengeyam pendidikan tidak hanya untuk selembar ijazah, lebih dari itu. Manusia punya impian besar.

Manusia adalah makhluk sosial, mereka berinteraksi, bertukar pikiran, saling berdebat, serta membentuk koloni. Isi kepala mereka tidak akan sama. Namun, hal itu yang menjadikan manusia unik. Mereka punya warna berbeda, pola pikir tak sama, serta perspektif dari sudut pandang berbeda.

Aku terdiam, mengenang Ani yang sudah merdeka dengan caranya. Cara yang begitu menyayat hatiku dan keluarga besar.

Semoga, perempuan di seluruh dunia, memiliki kebebasan. Namun dengan cara yang lain, bukan dengan cara yang Ani lakukan.

**

Siang itu, rumah terlihat sangat sibuk. Aku memasukan beberapa pasang pakaian ke dalam koper, ibu sedang mengecek paket oleh-oleh khas Cirebon yang ia beli di aplikasi pesan antar, sedangkan ayah sedang memanaskan mesin mobil. Hari ini kami akan pergi ke kampung halaman ayah di Indramayu. Besok, anak dari adik ayah---yang berarti sepupuku---akan melangsungkan pernikahan. Karena masih keluarga dekat, ayah dan ibu wajib ngobeng ke sana.

Ngobeng artinya ketika saudara, keluarga, serta tetangga akan melaksanakan acara atau kegiatan besar, seperti pernikahan ataupun hajatan. Para keluarga dan tetangga biasanya datang untuk membantu. Para ibu-ibu sibuk memasak di dapur sementara para bapak-bapak mengerjakan sesuatu yang berat, misalnya memasang tenda atau panggung acara.

Adik ayah bernama Pakdhe Slamet. Pakdhe Slamet tinggal di rumah pusaka peninggalan Eyang Kakung. Di sini, Pakdhe tinggal bersama istrinya Eli, dan juga anak pertamanya, Ani, serta anak bungsunya, Bambang.

Rumah Eyang tidak begitu besar, tetapi halaman belakangnya cukup luas. Dahulu Eyang hanya seorang petani yang mengurusi ladang orang. Sejak kecil ayah dan Pakdhe Slamet sudah terlatih hidup perihatin. Andai ayah tidak mendapatkan beasiswa dari Pemprov Jabar, Eyang tidak akan mampu untuk membiayai anaknya itu hingga ke perguruan tinggi. Tiap anak memang memiliki kemampuan berbeda.

Pakdhe Slamet memang tidak ingin kuliah seperti ayah, cita-citanya dari dulu ingin menjadi atlet. Namun, ia harus melepaskan cita-citanya setelah Eyang Putri meninggal dunia karena harus mengurus Eyang Kakung yang sudah sakit-sakitan.

Kini, Pakdhe Slamet bekerja di bengkel, sedangkan istrinya bekerja menjadi buruh cuci di asrama polisi.

Jarak dari Cirebon ke Indramayu tidak begitu jauh, hanya satu jam perjalanan. Kedatangan kami disambut hangat oleh keluarga besar. Mereka menganggap ayah adalah orang sukses sebab kerja kantoran di ruangan ber-AC. Di keluarga besar, hanya ayah seorang yang mengeyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Ayah lulus dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Setelah lulus, ayah lolos seleksi Penerimaan Pegawai Bank Indonesia. Sebelum penempatan di Cirebon, ayah lebih dulu ditempatkan di Jakarta. Dari situ ayah bertemu dengan ibu.

"Assalamualaikum." Ayah datang sambil memeluk adiknya itu hangat. Pakdhe Slamet pun membalas pelukan ayah dengan erat. Mereka seolah sedang melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu.

"Waalaikumsalam, Mas Sadeli ... Mbak Wati," jawab Budhe Eli. Ia menyuruh seorang tetangganya untuk membawakan koper dan barang bawaan keluarga kami ke dalam.

Awalnya aku menolak, tetapi Budhe Eli memaksa. Ia bahkan mempersilahkan aku, ibu, dan bapak untuk duduk di dalam.

Di ruang tamu, ternyata tidak hanya ada keluarga kami. Ada juga sekumpulan orang yang tidak pernah aku temui. Mereka memakai perhiasan di tangan dan leher secara berlebihan, sinarnya menyilaukan mataku. Aku tersenyum ramah, lalu mereka balas dengan senyuman tak kalah ramah.

Setelah kedatangan ayah, barulah salah satu dari mereka menyapa. "Lah ... ana Sadeli. Teka kapan?" tanya salah satu dari mereka. (Lah, ada Sadeli. Datang kapan?)

"Eh, Mbak Woni. Amberan bae teka. Priben, Mbak ... waras tah?" Ayah menjulurkan salam untuk berkenalan. Jujur saja, meski lama tinggal di Cirebon, aku tidak begitu paham dengan bahasa daerahnya sehingga yang kulakukan hanya tersenyum canggung. (Eh, ada Mbak Woni. Baru saja dateng. Gimana, sehat kah Mbak?")

Ibu datang setelahnya. Sama sepertiku, ibu pun hanya tersenyum canggung karena tidak mengerti harus membalas apa.

"Iki tah anakke siro tah Li? Ya ampun ... ayu temen kaya Mbah'e, ya?" Wanita paruh baya yang bernama Woni itu pun mendekat dan memegang pergelangan tanganku. Aku mambalas dengan senyuman. (Ini anak kamu, Li? Ya ampun, cantik banget seperti Eyang Putrinya)

"Iya, Mbak. Namanya Rana," jawab ayah. Antara mereka pun terlibat pembicaraan yang aku sendiri samar-samar mengerti artinya. Namun satu hal yang aku sadari, dari tadi Mbah Woni tidak melepaskan pandangannya kepadaku. Mata itu meneliti penampilanku dari atas hingga bawah. Meskipun Budhe Woni perempuan, tetap saja aku sedikit risih dibuatnya.

"Wis ndue calon durung, Nok?" tanya Mbah Woni tiba-tiba. (Sudah punya calon suami belum, Neng?")

Aku terkejut, lalu tersenyum kikuk mengisyaratkan bahwa aku tak paham arah pembicaraannya ke mana.

"Eh ... nggak ngerti, ya? Maksud Budhe, kamu sudah punya calon suami belum seperti Ani? Enak lho dia, suaminya kaya raya. Juragan sawah dan empang," katanya sambil senyum-senyum, ia bahkan melirik ke arah ayah dan ibu. Entah apa maksudnya.

"Belum, Budhe. Masih mau fokus kuliah," jawabku sesopan mungkin. Namun, aku tidak menyangka bahwa Mbah Woni mengatakan hal yang membuat aku sedikit kesal.

"Kuliah juga nanti ujung-ujungnya kerja di dapur. Kodrat perempuan itu kan begitu. Menikah, mengurus keluarga, dan melayani suami."

Air mukaku benar-benar langsung berubah. Apa bedanya perempuan dan laki-laki? Memang yang boleh bekerja hanya laki-laki saja? Banyak kok perempuan yang bekerja, tetapi masih bisa mengurus keluarganya dengan baik. Stigma seperti itu harus dipatahkan.

Sadar dengan ekspresiku yang berubah, ibu buru-buru menengahi dan berkata, "Eh, Na. Gih sana ke kamar Ani. Puas-puasin main dulu sana!"

Aku langsung paham maksud ibu. Lagipula, aku malas harus berpura-pura menampilkan wajah manis.

Kamar Ani berada di samping dapur yang terhubung dengan halaman belakang rumah. Aku berjalan sambil membungkukan badan karena melewati para sesepuh yang sedang duduk untuk membungkus lemper di lantai.

Aku mengetuk pintu kamar Ani berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban. Khawatir terjadi sesuatu, aku pun mencoba masuk ke dalam tanpa menunggu jawaban lagi. Untung saja kekhawatiranku tidak terbukti. Di sana, aku melihat sepupuku itu sedang duduk di kasur sambil melihat ke arah luar jendela. Entah apa yang Ani pikirkan sehingga kedatanganku tak mampu membuyarkan lamunannya.

Aku masuk ke dalam, lalu menyentuh pergelangan tangannya.

Ani terlihat terkejut dengan kedatanganku. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum meski rasanya sulit. Mata yang biasa berbinar itu seolah-olah redup tak bersisa. Aku tahu, perempuan di depannya ini sedang tidak baik-baik saja.

"Udah datang dari tadi, Mbak?"tanyanya sambil mempersilahkan aku duduk di sampingnya.

"Nggak sih barusan aja," jawabku yang ikutan melihat ke luar jendela. Di sana tidak ada apa-apa, hanya ada pohon jengkol yang terlihat kokoh dan berdaun lebat. "Kamu ngelamunin apa sih? Nervous ya besok mau menikah?" Godaku agar suasana mencair.

Ani menggeleng sekilas, lalu memalingkan lagi wajahnya lurus ke depan. "Gimana kuliah, Mbak? Lancar?"

Percakapan kami pun diawali dengan basa-basi. Ani bertanya tentang kesibukanku, sedangkan aku menayakan kesibukannya. Tahun ini, Ani baru naik kelas XI-SMA. Usia yang sangat muda untuk menikah. Namun di kampung halaman ayah, hal ini sudah lumrah terjadi. Entah menikah karena cinta, ataupun menikah karena terpaksa. Aku tak tahu, di antara dua alasan itu, Ani termasuk yang mana.

"Kuliah itu ... enak nggak, sih, Mbak?" tanya Ani tiba-tiba. Wajahnya sedikit berubah lebih cerah daripada pertama kali. Tiga kata itu seolah-olah membangkitkan semangatnya yang pudar.

"Ya ... gitu aja. Kadang seru, kadang boring," jawabku santai.

Ani menghembuskan napas panjang sebelum memejamkan matanya. "Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya di ospek oleh kakak tingkat, punya banyak teman, berdiskusi banyak hal, dan bertemu orang baru. Ah ... rasanya pasti menyenangkan."

Aku memang sepupu Ani, tetapi sebenarnya kami tidak sedekat itu. Kami berdua tidak pernah membicarakan hal mendalam dan serius. Bagi kami, bertukar cerita kesibukan adalah hal paling umum dilakukan. Dalam hati aku sangat terkejut dengan pertanyaan Ani.

"Ya ... mungkin karena kamu ekstrovert kali, ya? Kalau aku ... kayaknya menghindari hal begitu," jawabku juga yang ikut memejamkan mata.

Ani terkekeh setelahnya. Sepupuku itu memang orang yang ramah dan pandai bergaul. Ia juga punya semangat yang tinggi. Setiap bercerita, ia selalu menggebu-gebu untuk membagikan pengalamannya. Mendengar kabar bahwa ia akan menikah muda, sejujurnya aku sangat terkejut.

"Benar, ya? Manusia itu beragam. Bukan hanya warna kulit, tetapi juga dengan pola pikir dan nasibnya. Jujur saja ... aku ingin sekali jadi Mbak Rana. Aku ingin seperti Pakdhe Sadeli. Tapi nasibku tak seberuntung kalian."

"Maksudmu?"

"Mbak Rana pasti tahu maksudku," balas Ani cepat. "Di sini ... di kampungku ... aku tidak punya hak atas suaraku. Anak laki-laki diagungkan sementara anak perempuan jadi kebanggaan. Kedengarannya anak di daerah kami istimewa, ya, Mbak? Tapi sayangnya ... orang tua punya makna yang berbeda."

Anak laki-laki dianggungkan karena bisa jadi tumpuan keluarga, orang tua berharap pada mereka di masa tua. Sementara itu, anak perempuan jadi kebanggaan karena dianggap jadi aset. 

Seperti bunga, setelah mereka mekar, ada saja orang tua yang akan menawarkan pada lelaki kaya raya yang menginginkannya. Sialnya, lelaki itu sudah punya banyak istri. 

Bahkan untuk pasangan saja, Ani tidak bisa memilih. Hidup memang harus realistis, tetapi ikut aturan lama juga menjadikan kita masyarakat tertinggal. Perempuan dan laki-laki punya hak yang sama. Anak bukan investasi masa depan, apalagi aset yang dapat dijual ketika butuh.

Aku melihat Ani meremas kedua tangannya yang saling bertauan. Bulir putih di pelupuk matanya jatuh membasahi pipi. Aku tertegun, melihat wajah yang terlihat asing itu dengan tatapan dalam. Air mata itu seolah-olah bicara padaku walaupun tanpa kata-kata. Jika Ani menderita, terpaksa memilih jalan yang bukan keinginannya.

"Tahun lalu, ada mahasiswa dari UGM yang datang kemari untuk KKN. Mereka terlihat keren menggunakan jaket almamater warna cokelat itu. Aku bangga karena Mbak Rana pun kuliah seperti mereka. Hati kecilku mulai berharap ... kalau Pakdhe Sadeli anak petani saja bisa kuliah, harusnya aku pun bisa. Ketidakmungkinan itu hanya untuk orang yang tidak berusaha. Setidaknya itu yang pernah aku baca. Tetapi ternyata aku lupa kalau takdir manusia itu berbeda dan tidak bisa diubah."

Kata-kata Ani penuh dengan makna. Seorang yang terpaksa harus melepas mimpi dan cita-citanya. Sesuatu hal yang memilukan. "Kamu masih bisa lulus SMA dan berkuliah, Ni. Menurutku komunikasi dalam rumah tangga itu penting, termasuk menceritakan tentang mimpimu."

"Mbak ... lapisan sosial kita berbeda. Mungkin di luar sana, hal itu bisa saja terjadi. Tetapi di sini ... kami punya aturannya sendiri. Setelah menikah, perempuan menyerahkan seluruh hidupnya untuk keluarga. Di mana perempuan dijadikan objek, di mana pendidikan bagi perempuan dianggap percuma atau bahkan sia-sia." Ani bangkit dari kasurnya, berjalan menuju jendela kamar untuk membukanya. "Bersyukurlah Mbak Rana yang merdeka. Merdeka untuk menentukan sendiri hidupnya, merdeka untuk mencari ilmu, serta pengalaman sebanyak-banyaknya. Melihat betapa luas dunia. Tidak sepertiku, dunia bagai kotak dalam kotak. Penuh aturan, stigma, ketidakbebasan."

Ani berusaha mengatur mimik wajahnya yang terlihat putus asa. Ia menyeka kembali sisa bulir putih dipelupuk matanya. Barangkali dia tidak mau membagikan kesedihnnya pada sembarang orang, termasuk aku.

Sore itu, aku mencerna lebih dalam makna apa yang Ani katakan. Selama ini, aku merasa pendidikan itu membatasi kebebasan. Bagaimana dalam pendidikan selalu ada aturan-aturan yang mengikat. Waktu sekolah, kami disuruh berangkat pagi pulang sore. Kami harus bisa menyentuh nilai KKM dalam setiap mata pelajaran. Padahal aku benci Matematika, apalagi Fisika. Di kuliah, kami disuruh berpikir kritis, tetapi ketika kami menyuarakan pendapat, kami dibungkam.

Namun, apa yang Ani katakan ada benarnya juga. Aku punya perspektif baru untuk itu. Dunia begitu luas. Jika kita hanya melihat satu sisi, kita tidak akan pernah melihat sisi lainnya. Ketika kita menilai sesuatu dengan keburukan saja, kita tidak akan pernah menemukan kebaikan dibalik semua itu.

Bagiku, kuliah hanya menjalani kata ayah, tetapi bagi Ani, kuliah adalah cara dia menjelajahi dunia. Mungkin itu yang disebut impian. Namun sayang, sebelum memulai, Ani sudah harus menguburnya dalam.

"Kamu bisa kabur, Ni." Saranku terdengar konyol, mungkin karena aku tidak punya pengalaman dalam hal ini. Beruntung saja sinetron Indonesia pernah menayangkan kisah wanita yang dijodohkan, tetapi berhasil kabur. Sesungguhnya aku sebal memujinya, tetapi dalam keadaan genting seperti ini, aku patut berterima kasih pada penulis skrip untuk ide gila itu. "Setelah kabur ... kamu bisa bebas."

Ani mengulas senyum kecil, mungkin dalam hati ia mengumpat sambil tertawa bagaimana aku bisa memberikan ide itu. "Kabur nggak menyelesaikan masalah. Setelah kabur ... aku masih harus menjalani hari esok dengan segudang permasalahan lain seperti memikirkan di mana aku tinggal, bekerja apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan makan apa nanti malam, Mbak."

"Jadi ... kamu mau menyerah begitu saja?" tanyaku saat itu penuh emosi. Ani terang-terangan menunjukan betapa ia menderita tanpa menyelesaikan masalahnya.

"Sebentar lagi aku akan bebas," katanya dengan nada lirih. "Aku nggak sabar untuk itu."

"Bagaimana caranya?" tanyaku penasaran.

"Tentu dengan caraku sendiri." Senyum Ani terlihat lebih lebar. Binar mata yang mati itu kembali hidup.

"Tap---"

"RANA!" panggil ibuku dari luar kamar. "Ini ada Budhe Ratih dan keluarganya dari Semarang. Keluar dulu sini!"

Aku mendelik ke arah Ani terlebih dahulu, memastikan apakah dia baik-baik aja kalau aku pergi. Wajah teduh gadis itu tersenyum lembut, ia menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban.

"Ya udah, bentar, ya, Ni. Aku keluar sebentar."

Aku meninggalkan kamar Ani dengan langkah ragu. Entah mengapa senyum sepupuku terlihat ganjil. Bukan senyum kesedihan, apalagi kebahagiaan. Aku sendiri sulit memahaminya. Hingga sampai ayam berkokok menyambut matahari terbit, aku baru paham makna dari kata kebebasannya.

Budhe Lia menjerit histeris ketika melihat tubuh putrinya sudah tergantung di pohon jengkol yang letaknya di halaman belakang rumah. Aku pun melihat dengan kepalaku sendiri bagaimana tubuh mungil itu berayun-ayun. Tubuhku bergetar hebat ketika menyaksikan kebebasan dalam makna lain dari kebebasan itu sendiri. Pembrontakan nyata, dari seorang perempuan yang belum merdeka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun