Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... Penulis - human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menggantung Kebebasan di Halaman Belakang Rumah

28 Oktober 2022   11:42 Diperbarui: 29 Oktober 2022   21:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memang sepupu Ani, tetapi sebenarnya kami tidak sedekat itu. Kami berdua tidak pernah membicarakan hal mendalam dan serius. Bagi kami, bertukar cerita kesibukan adalah hal paling umum dilakukan. Dalam hati aku sangat terkejut dengan pertanyaan Ani.

"Ya ... mungkin karena kamu ekstrovert kali, ya? Kalau aku ... kayaknya menghindari hal begitu," jawabku juga yang ikut memejamkan mata.

Ani terkekeh setelahnya. Sepupuku itu memang orang yang ramah dan pandai bergaul. Ia juga punya semangat yang tinggi. Setiap bercerita, ia selalu menggebu-gebu untuk membagikan pengalamannya. Mendengar kabar bahwa ia akan menikah muda, sejujurnya aku sangat terkejut.

"Benar, ya? Manusia itu beragam. Bukan hanya warna kulit, tetapi juga dengan pola pikir dan nasibnya. Jujur saja ... aku ingin sekali jadi Mbak Rana. Aku ingin seperti Pakdhe Sadeli. Tapi nasibku tak seberuntung kalian."

"Maksudmu?"

"Mbak Rana pasti tahu maksudku," balas Ani cepat. "Di sini ... di kampungku ... aku tidak punya hak atas suaraku. Anak laki-laki diagungkan sementara anak perempuan jadi kebanggaan. Kedengarannya anak di daerah kami istimewa, ya, Mbak? Tapi sayangnya ... orang tua punya makna yang berbeda."

Anak laki-laki dianggungkan karena bisa jadi tumpuan keluarga, orang tua berharap pada mereka di masa tua. Sementara itu, anak perempuan jadi kebanggaan karena dianggap jadi aset. 

Seperti bunga, setelah mereka mekar, ada saja orang tua yang akan menawarkan pada lelaki kaya raya yang menginginkannya. Sialnya, lelaki itu sudah punya banyak istri. 

Bahkan untuk pasangan saja, Ani tidak bisa memilih. Hidup memang harus realistis, tetapi ikut aturan lama juga menjadikan kita masyarakat tertinggal. Perempuan dan laki-laki punya hak yang sama. Anak bukan investasi masa depan, apalagi aset yang dapat dijual ketika butuh.

Aku melihat Ani meremas kedua tangannya yang saling bertauan. Bulir putih di pelupuk matanya jatuh membasahi pipi. Aku tertegun, melihat wajah yang terlihat asing itu dengan tatapan dalam. Air mata itu seolah-olah bicara padaku walaupun tanpa kata-kata. Jika Ani menderita, terpaksa memilih jalan yang bukan keinginannya.

"Tahun lalu, ada mahasiswa dari UGM yang datang kemari untuk KKN. Mereka terlihat keren menggunakan jaket almamater warna cokelat itu. Aku bangga karena Mbak Rana pun kuliah seperti mereka. Hati kecilku mulai berharap ... kalau Pakdhe Sadeli anak petani saja bisa kuliah, harusnya aku pun bisa. Ketidakmungkinan itu hanya untuk orang yang tidak berusaha. Setidaknya itu yang pernah aku baca. Tetapi ternyata aku lupa kalau takdir manusia itu berbeda dan tidak bisa diubah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun