Mohon tunggu...
Irenna M
Irenna M Mohon Tunggu... Penulis - human

master none

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Menggantung Kebebasan di Halaman Belakang Rumah

28 Oktober 2022   11:42 Diperbarui: 29 Oktober 2022   21:00 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah Eyang tidak begitu besar, tetapi halaman belakangnya cukup luas. Dahulu Eyang hanya seorang petani yang mengurusi ladang orang. Sejak kecil ayah dan Pakdhe Slamet sudah terlatih hidup perihatin. Andai ayah tidak mendapatkan beasiswa dari Pemprov Jabar, Eyang tidak akan mampu untuk membiayai anaknya itu hingga ke perguruan tinggi. Tiap anak memang memiliki kemampuan berbeda.

Pakdhe Slamet memang tidak ingin kuliah seperti ayah, cita-citanya dari dulu ingin menjadi atlet. Namun, ia harus melepaskan cita-citanya setelah Eyang Putri meninggal dunia karena harus mengurus Eyang Kakung yang sudah sakit-sakitan.

Kini, Pakdhe Slamet bekerja di bengkel, sedangkan istrinya bekerja menjadi buruh cuci di asrama polisi.

Jarak dari Cirebon ke Indramayu tidak begitu jauh, hanya satu jam perjalanan. Kedatangan kami disambut hangat oleh keluarga besar. Mereka menganggap ayah adalah orang sukses sebab kerja kantoran di ruangan ber-AC. Di keluarga besar, hanya ayah seorang yang mengeyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi.

Ayah lulus dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Setelah lulus, ayah lolos seleksi Penerimaan Pegawai Bank Indonesia. Sebelum penempatan di Cirebon, ayah lebih dulu ditempatkan di Jakarta. Dari situ ayah bertemu dengan ibu.

"Assalamualaikum." Ayah datang sambil memeluk adiknya itu hangat. Pakdhe Slamet pun membalas pelukan ayah dengan erat. Mereka seolah sedang melepas rindu karena sudah lama tidak bertemu.

"Waalaikumsalam, Mas Sadeli ... Mbak Wati," jawab Budhe Eli. Ia menyuruh seorang tetangganya untuk membawakan koper dan barang bawaan keluarga kami ke dalam.

Awalnya aku menolak, tetapi Budhe Eli memaksa. Ia bahkan mempersilahkan aku, ibu, dan bapak untuk duduk di dalam.

Di ruang tamu, ternyata tidak hanya ada keluarga kami. Ada juga sekumpulan orang yang tidak pernah aku temui. Mereka memakai perhiasan di tangan dan leher secara berlebihan, sinarnya menyilaukan mataku. Aku tersenyum ramah, lalu mereka balas dengan senyuman tak kalah ramah.

Setelah kedatangan ayah, barulah salah satu dari mereka menyapa. "Lah ... ana Sadeli. Teka kapan?" tanya salah satu dari mereka. (Lah, ada Sadeli. Datang kapan?)

"Eh, Mbak Woni. Amberan bae teka. Priben, Mbak ... waras tah?" Ayah menjulurkan salam untuk berkenalan. Jujur saja, meski lama tinggal di Cirebon, aku tidak begitu paham dengan bahasa daerahnya sehingga yang kulakukan hanya tersenyum canggung. (Eh, ada Mbak Woni. Baru saja dateng. Gimana, sehat kah Mbak?")

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun