"Tentu dengan caraku sendiri." Senyum Ani terlihat lebih lebar. Binar mata yang mati itu kembali hidup.
"Tap---"
"RANA!" panggil ibuku dari luar kamar. "Ini ada Budhe Ratih dan keluarganya dari Semarang. Keluar dulu sini!"
Aku mendelik ke arah Ani terlebih dahulu, memastikan apakah dia baik-baik aja kalau aku pergi. Wajah teduh gadis itu tersenyum lembut, ia menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban.
"Ya udah, bentar, ya, Ni. Aku keluar sebentar."
Aku meninggalkan kamar Ani dengan langkah ragu. Entah mengapa senyum sepupuku terlihat ganjil. Bukan senyum kesedihan, apalagi kebahagiaan. Aku sendiri sulit memahaminya. Hingga sampai ayam berkokok menyambut matahari terbit, aku baru paham makna dari kata kebebasannya.
Budhe Lia menjerit histeris ketika melihat tubuh putrinya sudah tergantung di pohon jengkol yang letaknya di halaman belakang rumah. Aku pun melihat dengan kepalaku sendiri bagaimana tubuh mungil itu berayun-ayun. Tubuhku bergetar hebat ketika menyaksikan kebebasan dalam makna lain dari kebebasan itu sendiri. Pembrontakan nyata, dari seorang perempuan yang belum merdeka.