Salah satu pertanyaan menarik adalah apakah desa siap menghadapi peluang baru ini. Desa-desa di Indonesia memiliki beragam kapasitas dalam hal partisipasi politik dan kemampuan mengartikulasikan aspirasinya di tingkat nasional.
Oleh karena itu, partai politik memiliki tanggung jawab besar membangun kapasitas desa melalui pendidikan politik dan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Pendidikan politik di desa menjadi elemen penting menjawab tantangan ini. Tanpa pendidikan politik yang memadai, masyarakat desa dapat menjadi sasaran manipulasi politik oleh elit-elit tertentu.
Pendidikan politik ini harus mencakup pemahaman tentang hak dan kewajiban warga negara, pentingnya partisipasi dalam pemilu, dan kemampuan kritis memilih pemimpin yang kompeten.Â
Pendidikan politik juga perlu disertai dengan program-program pemberdayaan ekonomi, sehingga masyarakat desa memiliki kemandirian yang lebih besar dalam menentukan pilihan politiknya, sekaligus mampu menghindari pengaruh negatif seperti politik uang atau manipulasi suara.
Keberhasilan keputusan MK ini juga sangat tergantung pada bagaimana implementasinya diatur.
Salah satu rambu yang ditetapkan adalah bahwa pengaturan lebih lanjut oleh pembentuk undang-undang harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat secara bermakna, inklusif, dan transparan.
Hal ini menjadi tantangan tersendiri mengingat proses legislasi di Indonesia kerap kali minim partisipasi publik.
Tavits (2008) menegaskan bahwa keterbukaan sistem politik tidak hanya soal mekanisme pencalonan, tetapi juga bagaimana semua elemen masyarakat, termasuk desa, berpartisipasi secara aktif dalam seluruh proses demokrasi.
Selain itu, keputusan ini juga membuka peluang munculnya lebih banyak kandidat dalam pemilu mendatang.
Dengan tidak adanya batasan pencalonan, kemungkinan besar surat suara akan dipenuhi oleh wajah-wajah baru. Hal ini menjadi keuntungan bagi pemilih karena pilihan mereka menjadi lebih beragam.