Tavits (2008) menyebutkan bahwa sistem pemilu yang lebih terbuka memungkinkan distribusi suara yang lebih merata, yang pada akhirnya mendorong inklusivitas dalam politik.
Salah satu rambu yang ditetapkan MK adalah bahwa partai yang tidak mencalonkan pasangan calon pada pemilu presiden tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya.
Rambu ini memaksa partai untuk lebih serius dalam mencalonkan kandidatnya dan menjalin koalisi strategis.
Bagi partai kecil, ini menjadi tantangan guna memastikan relevansi mereka dalam kompetisi politik, sekaligus menjadi peluang menawarkan kandidat yang benar-benar mewakili aspirasi masyarakat, termasuk di pedesaan.
Desa, dalam konteks ini, menjadi pusat perhatian baru. Dalam buku Ricklefs (2012), disebutkan bahwa transformasi sosial dan politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran desa sebagai unit sosial yang paling dekat dengan masyarakat.
Dengan keterbukaan sistem politik yang lebih luas, desa menjadi basis kekuatan politik baru yang mendorong kandidat dengan visi pembangunan berkelanjutan, terutama di bidang pertanian, pendidikan, dan kesehatan yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat pedesaan.
Di sisi lain, penghapusan ambang batas ini juga membawa implikasi besar bagi pembangunan desa.
Seperti yang diungkapkan Liddle (2011), demokrasi yang sehat membutuhkan koneksi yang kuat antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal.
Dalam konteks ini, keberadaan pemimpin yang memahami persoalan desa akan menjadi lebih penting.Â
Partai-partai politik perlu menjadikan desa sebagai bagian integral dari strategi politik mereka, bukan hanya sebagai kantong suara tetapi juga sebagai mitra dalam merumuskan kebijakan pembangunan.