Di tingkat desa, kesadaran akan pentingnya literasi menjadi sangat relevan, terutama dalam konteks pembangunan berbasis kebutuhan masyarakat.
Pendamping desa yang literat bisa lebih efektif mengelola program pembangunan yang ada, karena mereka memahami regulasi dengan baik, serta mampu memberikan solusi berbasis pengetahuan yang valid.
Seringkali, ditemukan pendamping desa yang lebih mengandalkan insting dan pengalaman ketimbang pemahaman berbasis informasi yang mendalam.Â
Dalam situasi ini, keterbatasan informasi bisa menjadi masalah besar. Masyarakat desa yang ingin berkembang sering kali bergantung pada pendamping guna memeroleh informasi yang tepat dan valid.Â
Namun, jika pendamping itu sendiri tidak tahu banyak tentang topik yang sedang dibahas, mereka akan kesulitan memberikan penjelasan yang akurat.Â
Alih-alih menjadi agen perubahan, pendamping justru berisiko menjadi penghambat kemajuan jika tidak mampu meningkatkan kapasitas dirinya.Â
Sekaligus hal ini menjadi penyebab rendahnya tingkat literasi di desa itu sendiri, karena masyarakat pun mengikuti jejak pendamping yang kurang memahami pentingnya berliterasi.
Contoh, dalam program P3MD, penting bagi pendamping desa memahami secara mendalam mengenai SDGs Desa dan cara menerapkannya dalam konteks desa.Â
Jika seorang pendamping desa tidak memahaminya dengan baik, tentu sulit mengintegrasikannya ke dalam perencanaan dan implementasi program.
Dalam hal ini, literasi menjadi penentu utama apakah program tersebut akan berhasil atau justru gagal.Â
Pendamping desa yang literat tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu menerjemahkannya menjadi langkah-langkah strategis dan praktis yang dapat diterapkan di lapangan.Â