Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Imron "Iblis Membentangkan Sajadah" Refleksi Manusia Modern

7 Desember 2024   08:40 Diperbarui: 7 Desember 2024   08:51 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : chatgbt.com)

(Catatan "Ketika Iblis Membangkan Sajadah" Cerpen Imron Supriyadi) 

Oleh Ronas Alfa, Pegiat Sastra Indonesia

Imron Supriyadi, hanya saya kenal dari berbagai tulisannya yang tersebar di berbagai media, dan situs dunia maya. Dari sejumlah referensi, saya melihat, Imron Supriyadi, adalah seorang penulis cerpen asal Indonesia, tepatnya dari Desa Sabrangrowo, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Suami dari Pustrni Hayati, S.Pd.I ini, karyanya sering memadukan unsur lokal dengan gaya penulisan yang reflektif dan kaya makna.

Ayah dari Annisatun Nurul Alam, Muhammad Kahfi El Hakim dan Muhammad Akbar El Hakim ini, dikenal karena kemampuannya menangkap kehidupan sehari-hari dalam prosa yang mendalam, sering kali mengeksplorasi tema-tema seperti perjuangan hidup, tradisi, hingga keajaiban kecil dalam kehidupan biasa.

Cerpen-cerpen alumnus Fakultas Ushukuddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Fatah Palembang 1997 ini, biasanya menonjolkan karakter yang kuat dan latar yang sangat khas, menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia secara otentik. Dalam karya-karyanya, jurnalis senior di Sumsel ini, kerap memadukan nilai-nilai tradisional dengan pandangan modern, menciptakan cerita yang relevan sekaligus sarat filosofi.

Satu karya Imron Supriyadi yang kemudian menggelitik saya diantaranya cerpen "Ketika Iblis Membentangkan Sajadah" yanh juga dimuat di sejumlah media lokal dan nasional secara online.

Dalam penilaian saya, "Ketika Iblis Membentangkan Sajadah" adalah salah satu cerpen karya Imron Supriyadi yang penuh makna dan filosofi mendalam. Dalam cerita ini, Imron menggambarkan pergulatan batin manusia antara keimanan dan godaan duniawi, dengan pendekatan yang unik dan simbolik.

Cerpen ini menghadirkan tokoh-tokoh dengan konflik moral yang kuat, di mana "iblis" dalam cerita bukan hanya sosok makhluk gaib, tetapi juga simbol dari nafsu dan dorongan buruk dalam diri manusia. "Sajadah" yang menjadi simbol spiritualitas di sini dijadikan perangkat yang mencerminkan ironi: bagaimana sesuatu yang sakral bisa saja menjadi alat manipulasi jika dipengaruhi oleh kepentingan tertentu.

Tema utama cerita ini adalah tentang keikhlasan dalam ibadah dan kehidupan, serta pentingnya menjaga kemurnian hati dalam menghadapi godaan. Imron dengan cermat menyoroti bagaimana manusia bisa terjebak dalam kepura-puraan atau kehilangan makna sejati dari spiritualitas karena pengaruh kekuasaan, ego, atau materialisme.

Ada beberapa catatan yang kemudian menjadi bagian dari hal penting dalam cerpen ini, diantaranya pesan moral dari cerita ini meliputi; Keikhlasan dalam beribadah: Ibadah sejatinya adalah hubungan tulus antara manusia dan Tuhan, bukan sekadar ritual yang dipamerkan.

Perjuangan melawan godaan: Manusia harus sadar akan kehadiran "iblis" dalam berbagai bentuk, termasuk nafsu, ambisi, dan keserakahan.

Refleksi diri: Cerita ini mengajak pembaca untuk merenungkan sejauh mana mereka benar-benar menjalani nilai-nilai spiritual dalam hidup.

Sekilas kalau kita melihat jalan ceritanya, kisah ini dimulai dengan penggambaran sosok iblis yang secara metaforis hadir dalam kehidupan manusia. Dalam cerpen ini, iblis tidak hanya didefinisikan sebagai makhluk gaib yang berusaha menyesatkan manusia, tetapi juga mewakili sifat-sifat buruk seperti keserakahan, kemunafikan, dan hasrat untuk mendapatkan sesuatu dengan cara yang salah.

Tokoh utama dalam cerita adalah seorang pria yang merasa dirinya religius dan sering menunjukkan kesalehannya di depan orang lain. Ia selalu membentangkan sajadah di tempat-tempat ramai untuk shalat, tetapi niatnya bukan murni ibadah melainkan untuk mendapatkan pujian. Sajadah dalam cerita ini menjadi simbol dari spiritualitas yang seharusnya suci, tetapi malah dikotori oleh kepentingan duniawi.

Pada satu titik, pria ini bertemu dengan seseorang yang misterius, digambarkan sebagai "iblis" dalam bentuk manusia. Iblis ini memprovokasi pria tersebut, mengungkapkan bahwa perbuatannya selama ini hanyalah pura-pura. Dialog antara keduanya menjadi momen refleksi yang mendalam. Iblis berkata bahwa ia tak perlu lagi menyesatkan manusia secara langsung karena manusia kini sering kali menyesatkan dirinya sendiri.

Cerpen ini ditutup dengan adegan yang ambigu, di mana pria tersebut akhirnya menyadari kemunafikannya namun merasa sulit melepaskan kebiasaan buruknya. Ia berdiri di atas sajadahnya, merenungi apakah ia benar-benar mampu beribadah dengan tulus atau terus terjebak dalam penampilan kosong.

Beberapa catatan saya yang mungkin bisa terungkap dalam cerpen ini, dianratanya;

1. Gaya Penulisan

Imron Supriyadi menggunakan gaya naratif yang simbolis dan reflektif dalam cerpen ini. Penulis kerap memanfaatkan dialog antara tokoh utama dan "iblis" untuk menyampaikan gagasan filosofis, yang membuat cerpen ini terasa seperti sebuah perenungan spiritual. Alur cerita yang mengalir lambat tetapi penuh makna memberi ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna dari setiap adegan.

Bahasa yang digunakan sederhana tetapi sarat dengan makna kiasan. Misalnya, sajadah tidak hanya sebagai alat fisik untuk beribadah, tetapi juga melambangkan kesucian hati yang sering kali "dibentangkan" hanya untuk dilihat orang lain.

2. Simbolisme dalam Cerita

Iblis: Dalam cerita ini, iblis tidak selalu hadir dalam bentuk kegelapan mutlak. Sebaliknya, ia adalah refleksi dari sifat-sifat buruk manusia, seperti riya' (pamer dalam ibadah) dan kesombongan spiritual. Kehadiran iblis juga menggarisbawahi bahwa ancaman terhadap spiritualitas bisa datang dari dalam diri kita sendiri.

Sajadah: Sajadah melambangkan niat dalam beribadah. Ketika niat seseorang tidak tulus, sajadah kehilangan makna spiritualnya, menjadi sekadar benda mati tanpa nilai.

Dialog antara tokoh utama dan iblis: Ini menggambarkan konflik batin manusia, di mana suara hati mencoba melawan godaan yang membisikkan pembenaran atas perbuatan salah.

Konflik Batin Tokoh Utama

Tokoh utama adalah cerminan dari manusia modern yang terjebak dalam dualitas antara spiritualitas sejati dan kebutuhan untuk diakui oleh lingkungan sosial. Ia ingin terlihat saleh di mata orang lain, tetapi jauh di dalam hati, ia tahu ada kepalsuan dalam tindakannya. Dialog dengan iblis menjadi semacam cermin bagi dirinya untuk menyadari kekurangan ini. Namun, pergulatan itu tidak mudah, dan di akhir cerita, pembaca tidak diberi jawaban pasti apakah ia berhasil melepaskan dirinya dari kemunafikan.

 introspeksi diri

Imron Supriyadi menekankan pentingnya introspeksi diri. Cerita ini mengingatkan pembaca bahwa ibadah dan kesalehan tidak dapat diukur dari apa yang terlihat oleh orang lain, melainkan dari ketulusan hati dan niat yang murni. Selain itu, cerita ini mengajak kita untuk memahami bahwa godaan tidak selalu datang dari luar, tetapi sering kali berasal dari dalam diri sendiri.

Pertanyaannya yang kemudian muncul adalah, bagaimana kita melihat relevansi cerpen ini dengan kehidupan masyarakat modern, di mana media sosial sering kali digunakan untuk "memamerkan" ibadah?

Lalu, apakah tokoh utama masih memiliki harapan untuk berubah di akhir cerita? Menurut Anda, apakah "iblis" dalam cerita ini benar-benar sosok yang nyata atau hanya personifikasi dari batin tokoh utama?

Bila kita eksplorasi lebih jauh dengan menjawab beberapa pertanyaan reflektif di atas, maka menurut saya ada point penting dalam cerpen ini, antara lain;

1. Relevansi Cerpen dengan Kehidupan Modern

Cerpen ini sangat relevan dengan fenomena di era media sosial, di mana sering kali ibadah atau tindakan kebaikan dipublikasikan untuk mendapatkan pengakuan. Misalnya, seseorang mungkin memamerkan shalat berjamaah, sedekah, atau amal lainnya di platform digital. Hal ini tidak selalu salah, tetapi jika niat di baliknya adalah mencari validasi sosial, maka makna spiritual dari tindakan tersebut bisa memudar.

Cerita ini mengingatkan kita bahwa ibadah sejati bersifat personal, tidak perlu diumbar kecuali benar-benar bertujuan untuk menginspirasi orang lain tanpa mengharap pujian. Dengan kata lain, Imron mengajak pembaca untuk merenungkan bagaimana media sosial dapat menjadi "sajadah" modern yang terkadang dimanipulasi oleh ego.

2. Harapan untuk Tokoh Utama di Akhir Cerita

Meskipun cerpen ini berakhir dengan nada ambigu, ada harapan tersirat bagi tokoh utama. Kesadarannya tentang kemunafikan dalam dirinya adalah langkah pertama menuju perubahan. Namun, transformasi membutuhkan perjuangan, terutama melawan kebiasaan lama dan tekanan sosial. Pembaca dapat melihat dirinya dalam tokoh ini, karena perubahan sejati memang sering kali dimulai dari momen introspeksi dan pengakuan kelemahan.

3. Sosok Iblis: Nyata atau Personifikasi?

Salah satu kekuatan cerita ini adalah fleksibilitas dalam interpretasi. Iblis bisa dipahami secara literal sebagai makhluk yang mencoba menyesatkan tokoh utama. Namun, dalam konteks simbolis, iblis lebih mungkin merupakan personifikasi dari bisikan hati yang mewakili ambisi, kemunafikan, dan ego. Hal ini membuat cerita ini relevan bagi siapa saja, terlepas dari latar belakang spiritual atau agama mereka.

Lalu dalam cerpen ini, apakah kehadiran "iblis" sebagai karakter dalam cerita ini membantu pembaca untuk lebih memahami sifat buruk manusia? Bagaimana peran masyarakat dalam membentuk perilaku tokoh utama? Apakah tekanan sosial yang terlalu besar mendorongnya untuk berpura-pura?

Jika Anda berada dalam posisi tokoh utama, langkah apa yang akan Anda ambil untuk kembali pada niat yang murni? '

Cerpen ini menjadi cermin bagi pembaca untuk melihat diri sendiri dengan jujur, tentang bagaimana kehadiran iblis dalams etiaop diri manusia.

1. Kehadiran Iblis sebagai Pemahaman tentang Sifat Buruk Manusia

Iblis dalam cerita ini sangat efektif sebagai simbol dan alat narasi. Dialog antara tokoh utama dan iblis memperlihatkan bagaimana sifat buruk manusia sering kali tidak disadari, atau malah diberi pembenaran. Kehadiran iblis membantu pembaca menyadari bahwa manusia punya kecenderungan untuk berkompromi dengan keburukan, apalagi jika keburukan itu tidak terlihat mencolok.

Contohnya, riya' bukanlah dosa yang mudah terlihat seperti mencuri atau berbohong, tetapi sifat ini bisa menghancurkan esensi ibadah seseorang.

Iblis juga berfungsi sebagai "penguji," memperlihatkan bahwa perubahan sejati membutuhkan keberanian untuk melawan diri sendiri.

2. Peran Masyarakat dalam Membentuk Perilaku Tokoh Utama

Tekanan sosial jelas menjadi salah satu penyebab tokoh utama bersikap seperti itu. Dalam masyarakat yang sering kali menilai seseorang dari tampilan luar, sulit bagi individu untuk benar-benar jujur dengan diri sendiri. Tokoh utama merasa perlu menunjukkan kesalehan untuk diterima, dihormati, atau bahkan dianggap lebih baik daripada orang lain.

Ini mencerminkan fenomena nyata di mana standar sosial terkadang menjadi "cambuk" yang memaksa orang memprioritaskan citra di atas kebenaran.

Namun, ini juga menjadi pelajaran bagi kita sebagai masyarakat untuk tidak terlalu cepat menghakimi, karena bisa saja kita ikut mendorong orang lain ke dalam kepalsuan.

3. Langkah untuk Kembali pada Niat yang Murni

Jika kita berada di posisi tokoh utama, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk kembali ke jalan yang benar:

Introspeksi Diri: Mengakui bahwa niat kita mungkin belum sepenuhnya murni adalah langkah awal untuk perubahan.

Menyederhanakan Ibadah: Fokus pada hubungan dengan Tuhan, bukan pada penilaian manusia. Misalnya, memilih untuk beribadah tanpa harus selalu diumbar atau dipamerkan.

Menghindari Ekspektasi Sosial: Membangun keberanian untuk tidak terpengaruh oleh tekanan sosial. Ini membutuhkan latihan mental agar tidak selalu mencari validasi eksternal.

Mencari Dukungan Spiritual: Bergabung dengan komunitas atau mentor yang mendukung pertumbuhan spiritual tanpa menilai dari tampilan luar.

Dalam catatan saya, cerpen ini sangat kaya dengan makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.Lalu bagaimana kaitannya cerpen ini dengan pengalaman pribadi atau fenomena tertentu?

Kita bisa melanjutkan pembahasan ini lebih lanjut dengan beberapa pertanyaan reflektif atau bahkan menghubungkannya dengan situasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin Anda memiliki pengalaman pribadi atau pandangan mengenai tema yang diangkat dalam cerita ini---seperti bagaimana seseorang dapat terjebak dalam citra yang tidak murni, atau bagaimana masyarakat sering mempengaruhi perilaku individu.

Cerpen "Ketika Iblis Membentangkan Sajadah" sangat kaya akan lapisan makna, dan bisa dikaitkan dengan banyak pengalaman atau situasi dalam kehidupan nyata. Beberapa pertanyaan reflektif ini bisa membantu menggali lebih dalam:

1. Perbandingan dengan Kehidupan Sehari-hari:

Cerita ini bisa mencerminkan bagaimana kita seringkali terjebak dalam penampilan atau ekspektasi sosial. Dalam dunia digital saat ini, banyak orang menunjukkan momen-momen spiritual atau amal hanya untuk mendapatkan pengakuan, bukan murni karena niat baik.

Apakah Anda pernah merasa tertekan untuk tampil "lebih baik" atau "lebih religius" di mata orang lain? Bagaimana perasaan Anda tentang itu?

2. Pergulatan dengan Diri Sendiri:

Tokoh utama dalam cerita ini menghadapi pergulatan batin---antara niat murni dan dorongan untuk dilihat orang. Ini adalah dilema banyak orang yang ingin menunjukkan kebaikan tanpa kehilangan esensi spiritual.

Bagaimana Anda mengatasi godaan untuk terlihat baik di luar tetapi tetap menjaga keaslian diri dalam beribadah atau berbuat baik?

3. Pengaruh Masyarakat dalam Pembentukan Identitas:

Dalam cerita, kita melihat bagaimana tekanan sosial sangat kuat dalam membentuk tindakan dan perilaku tokoh utama. Ini mencerminkan kenyataan bahwa kadang-kadang kita lebih peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain daripada apa yang benar-benar kita inginkan atau butuhkan.

Apakah Anda merasa ada pengaruh besar dari lingkungan sosial dalam cara Anda berperilaku? Bagaimana cara Anda menghadapinya?

4. Jalan Menuju Perubahan:

Cerpen ini juga menggambarkan bahwa kesadaran terhadap kelemahan atau kepalsuan adalah langkah pertama menuju perubahan. Tokoh utama menyadari kemunafikannya, tetapi mengubah kebiasaan tidaklah mudah.

Pesan moral

Pesan dari cerpen ini, antara lain; hakikat ibadah yang sejati: Ibadah bukanlah ajang untuk pamer, melainkan hubungan antara manusia dan Tuhan yang dilakukan dengan hati yang tulus.

Godaan duniawi: Iblis dalam cerita ini mewakili godaan untuk menempatkan ego dan pujian di atas nilai-nilai spiritual.

Refleksi diri: Cerpen ini mengajak pembaca untuk merenungkan apakah kehidupan mereka sudah selaras dengan nilai-nilai spiritual atau justru terjebak dalam kepalsuan.**

Pojok Hati, Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun