Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat Palembang

Jurnalis, Dosen UIN Raden Fatah Palembang, dan sekarang mengelola Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Teologi Sepeda Motor Rusak

27 Juni 2020   17:39 Diperbarui: 27 Juni 2020   17:34 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usai Rapat tentang Edu Wisata, kami Ngobrol Santai bersama KH Ahmad Fauzan Yayan, SQ (kaos putih), di Ponpes Tahfidz Kiai MaroganPalembang. (Foto. Dok

Oleh Imron Supriyadi

Pekan silam, tepatnya Hari Jumat Tanggal 26 Juni 2 020, saya dapat undangan kehormatan dari Ustadz KH Ahmad Fauzan Yayan, Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Kiai Marogan. Agendanya, ikut rapat louching edu wisata dan pulau apung di komplek Pondok Pesantren Tahfidz Kiai Marogan Palembang. Agenda kedua, saya diminta untuk bebagi ilmu di chanel Marogan TV, yang dipandu oleh Ustadz Ufik Reza.

Usai shalat jumat saya kemudian mampir sebentar di rumah Syekh Muhsin, salah satu Pemimpin Jemaah Tarekat Naqsabandiyah Al-Kholidiyah Jalaliyah di Palembang.

Setelah cukup menyeruput segelas kopi pahit dan berbincang seadanya, saya bersama Azril, salah santri Ponpes Rumah Tahfidz Rahmat meluncur menuju Bukit Lama, Ilir Barat I Palembang untuk pulang.

Jarak antara Ponpes Tahfidz Kiai Marogan di Talang Betutu, dan Bukit Lama tempat kami bermukim, sekitar 19 kilo meter.  Bila kita melintas melalui Jalan Tanjung Api-Api yang tembus ke Jalan Soekarno Hatta Palembang, bisa memakan waktu 38 menit.

Tetapi, bila kita melintas melalui jalur Jalan  Lintas Sumatera, waktunya bisa lebih 3 menit, yaitu bisa mencapai 41 menit, dengan jarak mencapai 18 km.

Dalam perjalanan, saya dan Azriel tak menduga bila di tengah perjalanan ada hambatan yang seketika datang tanpa diudang. Di simpang Talang Jambi yang menuju jalan Bandara, tiba-tiba sepeda motor yang kami kendarai macet.

Gas-nya tak bisa menarik derum mesin. Saya menduga gas-nya putus. Spontan hati saya agak cemas. Sebab, di Pondok Tahfidz Rahmat, ada jadwal menerima setoran hafalan santri, ba'ad Ashar. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 13.45 WIB (dua siang lebih).

Saya beruntung, kali itu mengajak Azril, salah satu santri yang menurut saya banyak mengetahui seluk beluk kerusakan sepeda motor. Beberapa kali, Azriel mencoba menggenjot sepeda motor. Tapi tak juga berhasil.

"Ustadz, kita bawa ke bengkel, be. Deket sinilah," kata Azril mengusulkan, setelah habis akal untuk mengatasi motor yang macet.

Dalam pejalanna, tak biasanya saya membawa uang pas, untuk bensin. Tapi kali itu tanpa berpikir panjang, sebelum berangkat saya tidak membawa uang lebih dari sekadar  cukup untuk membeli bensin eceran.

"Ustadz bawa duit pas-pasan, takutnyo duit ndak cukup untuk service," jawab saya yang sudah tentu membuat Azriel juga gelisah. Tapi Azriel masih mendesak saya.

"Kita tanyo dulu ke bengkel, apo yang rusak, gek baru tahu barapo biayanyo," jawab Azriel memberi alternatif. Jawaban itu kemudian saya iyakan.

Azriel kemudian menuntun sepeda motor yang rusak. Sementara saya sudah lebih dulu melangkah menuju lokasi bengkel. Hanya sekitar 50 meter, kami sudah sampai di bengkel.

Alhamdulillah, biaya tak sampai 50 ribu. Biaya ganti busi, hanya Rp 17 ribu. Kali itu saya upah pemasangannya Rp 3 ribu. Praktis dengan mengeluarkan uang Rp. 20 ribu, motor sudah berjalan kembali dan menuju ke Bukit Lama.

Kemacetan sepeda motor ini bukan kali pertama. Sebab saat kami berangkat, sepeda motor yang kami kendarai sudah mulai menunjukkan tidak beresannya. Selain gasnya memang gagak ngadat, saya juga gelisah ketika terasa ada sesatu yang menganggu dalam suara mesin.

Kata para orang bijak, apa yang kau pikirkan, itulah yang akan terajadi. Saat itu saya khawatir sepeda motor akan mogok. Dan ke-kahawatiran saya terbukti.

Ketika kami baru meluncur sekitar 3 kilo meter di jalan Soekarno Hatta, menuju Ponpes Kiai Marogan Talang Betutu, tiba-tiba sepeda motor itu hilang gas. Saya terpikir, bensin yang habis.

Beberapa detik, Kali itu saya ada perasaan kesal pada santri, yang menggunakan sepeda motor sebelumnya.  Saya pikir, mengapa santri tidak memberi tahu kalau bensinnya habis. Kan bisa minta duit untuk beli bensin.

"Idak ustadz, kemarin kami isi 10 ribu," celetuk Azril meyakinkan saya, kalau persoalan macetnya sepeda motor bukan karena habis bensin, tetapi ada penyebab lain. Untuk membuktikan, Azriel kemudian membuka penutup bensin. Begitu diguncang, memang masih banyak. Berarti masalah tidak pada bensinnya.

Tanpa sadar, kali itu kami sedang dipaksa Allah Swt untuk bersedekah Rp. 10 ribu kepada penjual bensin. Padahal, kalau melihat penyebab macetnya sepeda motor, tidak ada hubungannya dengan bensin.

Tetapi karena sudah kadung malu dengan penjual bensin, apalagi kami berhenti persis di depan warungnya, akhirnya saya ber-spekulasi menambah bensin.  Anehnya, setelah disi bensin, sepeda motor itu bisa distater dan kami melanjutkan perjalanan ke Pondok Tahfidz Kiai Marogan Palembang.

Setelah kami pulang. Saya dan Azriel istirahat. Sementara jam sudah menjukkan pukul 14.45 WIB. Saya berbaring sebentar. Tak lama kemudian, isteri saya masuk kamar. Tak ayal, semua peristiwa hari tu saya ceritakan pada isteri saya.

"Semua peristiwa pasti ada hikmahnya," ujar isteri saya, yang sempat membuat saya heran.

Sebab, kali itu kondisi saya masih lelah, tetapi tiba-tiba isteri saya mengajak berpikir berat. Tapi saya mencoba tetap merspon.

"Apa hikmahnya," tanya saya lagi.

Pertama : kalau kita akan pergi ke suatu tempat, harus punya bekal cukup, terutama persiapan duit. Sebab kita tidak tahu apa yang terjadi dalam perjalanan," ujarnya.

"Kedua," kata saya melanjutkan, kalau-kalau masih ada ucapan lain dari isteri saya.

"Itu pelajaran buat kita?" kata isteri saya.

"Maksudnya?" tanya saya lagi.

"Kalau kita mengundang ustadz, atau siapapun dia, apalagi orang itu diminta jasanya, kita wajib menyiapkan biaya, meskipun hanya cukup untuk transport," tambah isteri saya.

"Kok harus begitu?" tanya saya lagi.

"Kan kita tidak tahu apa yang terjadi dalam perjalanan. Contohnya Ayah. Motor rusak, duit dak cukup untuk service. Akhirnya jadi gelisah kan? Itu juga pelajaran buat kita, supaya jangan terjadi pada orang lain yang kita udang ke sini," tegas isteri saya. Spontan dalam pikiran saya membenarkan.

"Ketiga, meskipun itu tidak cukup untuk menghidupi yang bersangkutan, tapi yang namanya jasa tetap harus dibayar, supaya berkah," kalimat isteri saya, kali itu seperti menggelontor begitu saja. Saya masih mendengarkan kelanjutannnya.

"Keempat, apa, Bun?" kata saya sembari berseloroh.

"Sudah itu saja!" kali itu isteri saya mengakhiri pesan hikmah dari rusaknya sepeda motor dalam perjalanan saya sore itu.

"Masih ada lagi, Bun," tambah saya.

"Apa?" kata Isteri saya penasaran.

"Dua kemacetan yang ayah alami, menjadi ruang kita untuk bersedekah. Pertama kepada penjual bensin, dan yang kedua kepada tukang bengkel," kata saya menambahi.

"Nah, kan ayah membayar dengan dua orang itu. Perama penjual bensin. 

"Dan satu hal yang tidak bisa kita duga, jangan-jangan dengan rusaknya sepeda motor dua kali, saat pulang dan pergi, Allah sedang menghindarkan kecelakaan, yang mungkin akan menimpa Ayah dan Azriel dalam perjalanan," kata saya.

Dialog saya dan isteri sore itu, ternyata membuat saya tersadar dari kekesalan yang sering menimpa saya, saat sata dilanda kemacetan. Baik saat mengdendari sepeda motor, atau sedang naik mobil.

Boleh jadi, kekesalan serupa juga sering dirasakan oleh kita. Apakah itu berhadapan dengan kemacetan, kerusakan sepeda motor dan mobil, pecah ban, taksi yang lambat datang atau apapun bentuknya, seharunsya tidak kita hadai dengan emosi dan kemarahan.

Sebab, saat itu Allah Swt sebenarnya sedang merencanakan sesuatu yang lebih indah dari sekadar kemacetan dan kerusakan sepeda motor atau mobil.

Allah kali itu, sedang menunda perjalanan kita, karena Allah sedang ingin mengundarkan, dan menyelamatkan kita dari kemungkinan kecelakaan, atau hambatan yang lebih besar yang akan menimpa kita.

Kalau Allah dalam setiap detak napas selalu menebar kasih dan sayangnya kepada kita, dan menghindarkan kita dari keburukan yang lebih fatal, haruskah kita membalas kecintaan Allah itu dengan kekesalan dan kemarahan?

Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Rahmat - Palembang, 19 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun