Sang Prabu memintaku berdiri. Dia sungguh masih memliki hak untuk memelukku karena aku adalah istrinya. Sedangkan Radyan Samba tak lain hanyalah seorang perebut istri orang, istri kakaknya sendiri. Namun begitu Sang Prabu memintanya untuk ikut berdiri, beliau memeluknya. Memeluk tubuh adik laki lakinya, tak ada dendam, tak ada tikaman.
"Menikahlah, kalian saling mencintai" katanya.
Aku tertegun, takjub pada kalimat yang meluncur dari bibirnya. Akankah ini mimpi? Bahkan aku telah mengkhianati kepercayaan yang beliau berikan padaku. Kini malah terbuka jalan yang terang benderang.
 "Menikahlah, Ayah kita sudah setuju. Toh aku juga belum menyentuh Dewi sama sekali. Dia milikmu, rawat dan jagalah" katanya pada Radyan Samba. Sang Prabu tersenyum kepadaku, mengizinkanku untuk memilih jalan yang akan kutempuh.
Kupeluk Radyan Samba, tak habis rasa terimakasihku pada Sang Prabu. Aku tak bisa berkata kata selain mengucapkan terimakasih. Bahkan Sang Prabu bersedia mengantar kami dari Dwarawati ke Traju Trisna, pulang.
"Nanti kita mengendari Wilmana, kalian jangan khawatir" kata Sang Prabu.
Aku mencicil bahagia, restu sudah di tangan. Radyan Samba sudah sah dalam pelukanku.
-
"Jadi kamu membiarkan adikmu menikah dengan seorang pelacur, Prabu?" tiba tiba terdengar suara dari dalam mesin kendaraan yang kami tunggangi. Aku dan Radyan Samba berpandangan. Sesungguhnya tida terlalu heran menyaksikan kendaraan canggih seperti Wilmana ini dapat bicara, namun haruskah benda ini bertanya selancang itu?.
Sang Prabu diam. Tidak ada tanda tanda apapun. Aku hanya menunduk. Radyan Samba membisu. Wilmana terus melaju menembus awan awan hingga jauh tinggi.
"Prabu, apa yang membuatku masih terus berbaik hati dengan seorang pengkhianat? Bukankah mereka sudah sama sama bejat?" lagi lagi terdengar pertanyaan yang membuatku merasa tertusuk.