"Hagnyawati pujaanku, adakah yang kurang berkenan di hatimu hingga kau buang aku seperti ini?" Sang Prabu mulai menitikkan air mata ketika aku mengenakan kembali bajuku yang awut awutan. Sungguh aku kehilangan selera untuksekedar memeluk tubuhnya yang masih telanjang. Ini adalah malam pertama yang paling jahanam, bagaimana mungkin aku menolak keinginan suamiku sendiri?
Semakin ringan Sang Prabu mengais perhatianku aku malah semakin muak. Dalam bilik ini aku hanya melihat wajah Radyan Samba dan mencoba mengira ira wangi tubuhnya. Aku hanya bisa mendengar suaranya yang sayup sayup mamanggilku dari jauh, menyuruhku menjauhi kakaknya, suamiku.
"Buatkan aku jalan yang menghubungkan Traju Trisna dengan jalan ke wilayah rumahku" kataku dengan cepat. Aku tidak ingin terlalu terjebak dalam ketidakinginan yang memabukkan. Sang Prabu terkejut, mengeryitkan keningnya kemudian mengatakan bahwa itu adalah hal yang sangat mustahil karena akan menerjang wilayah Astana Gada Madana dimana arwah para leluhur disemayamkan.
Aku sungguh tidak peduli dengan alasan apapun.
"Lakukan apa yang aku mau jika kamu benar benar mencintaiku, Prabu" kataku pelan sembari meninggalkan ranjang hingga malam malam selanjutnya. Meninggalkan suamiku yang kelimpungan dengan persyaratan gila yang membuat kami tidak bertemu di malam malam ataupun hari setelahnya.
"Buatkan aku jalan untuk menghubungkan kedua wilayah itu maka kau akan mendapatkan seluruhnya yang kupunya, hakmu" kukatakan hal itu kembali ketika Sang Prabu merajuk untuk persyaratan yang lebih ringan.
Aku hanya mengingat bahwa aku mau peluk yang lain. Peluk Ksatria Parang Garuda yang belum dapat kuindera, Radyan Samba. Rasanya hampir mati jika bayangannya tiba tiba saja hadir tanpa permisi.
Bayangan lelaki itu seperti menari nari di pelupuk mata, setiap saat. Aku sungguh tak bisa berpaling dari keinginan untuk terus memikirkan nafsu gilaku.
-
 "Dewi Hagnyanawati" tubuhnya tergopoh gopoh mengampiriku. Badannya yang tegap ia bungkukkan demi menghindar dari kejaran mata prajurit yang berjaga di sekitar taman. Aku menyambut lelaki ini dengan kecupan pada bibir, leher, hingga matanya.
"Aku merindukanmu Dewi" keluhnya sembari merebahkan kepala pada pangkuanku. Air mataku menetes satu satu. Membayangkan betapa ia harus mengelabui banyak manusia agar bisa menemuiku dengan selamat. Nyawa adalah taruhannya. Aku bahkan juga tidak lagi peduli jika kami tertangkap tangan sedang asyik bermesraan sementara suamiku sedang dibingungkan dengan rencana pembuatan jalan.