“Nah makanya kita tunggu dulu.”
“Nggak. Pokoknya gue mau pulang.”
Teman-temanku berdebat. Ada yang ingin pulang, ada yang ingin bertahan. Aku pun menarik napas gusar. “Sudah! Sudah!” kataku menengahi. “Kita pulang!”
“Yah, tapi Yon…,”
“Nggak ada tapi-tapian. Gue nggak mau juga ada kenapa-napa,” potongku pada protes Dewantara. Ia memang begitu bernafsu mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya, “Lagian gue udah bilang ke Pak Amrul. Beliau bilang sebaiknya kita kembali. “ sambungku seraya menyebutkan nama dosen pembimbing.
“Ck, Bapak itu bukannya ke sini,” cibir Utari.
“Sibuk kali,”
“Sibuk atau ketakutan.”
“Sudah! Sudah!” Aku menggeleng. “Kita mulai berkemas. Besok kita beritahu pak kades dulu. Pamitan. Lusa pagi kita semua pulang.”
Pagi hari, sesuai rencana kami berniat berpamitan pada kepala desa. Namun langkah kami sempat terhenti . Terdengar raungan histeris terdengar. Kami saling berpandangan sebelum kemudian bergegas menuju ke dalam rumah. Ternyata sudah ada beberapa orang di dalam rumah.
Tampak sosok tubuh tambun terbujur kaku di lantai dengan mata terbelalak. Di sampingnya seorang perempuan menangis meraung tak henti.