Namanya Kemala Sari. Bunga desa yang menjadi pujaan banyak pemuda desa. Bukan hanya wajahnya yang ayu tapi juga tutur katanya yang lembut dan sopan yang kemudian mampu menarik perhatian seluruh laki-laki. Sayang, si kembang desa yang tengah ranum bernasib tak secantik wajahnya. Seminggu lalu ia menghilang, dan ditemukan tiga hari setelahnya dalam keadaan tewas tanpa busana. Ia diperkosa lalu dibunuh. Warga desa meradang. Ternyata kasus seperti ini tak sekali terjadi. Dalam kurun waktu tiga bulan, sudah ada dua gadis menghilang.
Kami, aku dan kesembilan rekanku baru tiba dua minggu lalu di desa ini. Kami sedang melakukan praktik KKN sebagai salah satu mata kuliah akhir. Entah kesialan apa yang kami dapat, hingga harus mengetahui satu demi satu kejadian mencekam di desa.
Tadi pagi warga beramai-ramai mengarak seorang pemuda yang diketahui bernama Samsir. Lelaki itu dituduh menjadi pemerkosa sekaligus pembunuh Kemala. Sejujurnya aku sangsi. Meski belum lama tinggal di desa, aku mengenal sosok Samsir. Mas Samsir, demikian aku dan teman-teman memanggilnya. Dia lelaki pendiam, jarang tersenyum tetapi ramah. Aku beberapa kali bertegur sapa dengannya. Kami bahkan sempat mengobrol beberapa hari sebelum ia ditangkap warga.
Entah bagaimana bisa warga menuduh lelaki itu. Aku sendiri bingung. Yang kudengar, terakhir kali Samsir sempat pergi dengan Kemala. Tak hanya itu, wanita korban sebelumnya juga diketahui bercakap dengan Samsir terakhir kali sebelum kemudian menghilang. Samsir tak membela diri. Dia bahkan tak berkata apapun, membuat warga makin meradang dan gelap mata.
Malang tak dapat ditolak, Samsir dihakimi untuk kemudian dibakar hidup-hidup.
Bukti tak kuat, saksi tak ada.
Sungguh, itu penghakiman yang semena-mena. Jujur, aku dan teman-teman ingin membela. Tapi melihat beringasnya warga, kami sendiri ketakutan. Aku sudah mencoba menghubungi polisi, tapi hingga eksekusi berlangsung tak ada kehadiran mereka. Kalau sudah begitu, kami bisa apa. Kami hanya mahasiswa yang sedang ‘numpang’.
Sungguh, kami ingin pulang hidup-hidup.
***
“Aaaaaaaaarrrrrggggghhhhhh!”
Sejenak aku dan Dewantara berpandangan, sebelum kemudian kami berlari cepat menuju sumber suara. Tampak Mili, salah satu rekan wanitaku terduduk lemas di depan pintu dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya bergetar, air matanya berlinang. Ia terlihat begitu ketakutan.