Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kolak Cinta

9 Juni 2016   17:25 Diperbarui: 11 Juni 2016   05:22 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari www.resepkoki.co

Miranti tersenyum puas sembari mematikan kompor. Aroma wangi kolak pisang menguar di udara membuat siapapun yang menghirupnya tak sabar untuk menikmati.

“Hmm, enak banget kayaknya!”

Miranti berbalik.  Seorang wanita paruh baya tampak berdiri di pintu dapur dengan senyum tak lepas dari bibirnya.

“Enak dong! Siapa dulu yang bikin!” Sahut Miranti bangga.

“Ya asal jangan lupa sisain buat di rumah,”

Miranti tergelak, “Tenang Ma, Miranti bikin banyak kok.” Katanya lagi, “Pokoknya semua ditanggung beres.”

Wanita baya yang ternyata ibu Miranti itu manggut- manggut. Senyumnya melebar. “Enak nggak?”

“Yang pasti lah!” Jawab Miranti. “Jaminan 100%  ini, Ma.”

“Oh ya?”

Miranti mengangguk. “Kan sebelum puasa aku udah nyoba berapa kali buat kolak pisang yang rasanya pas dan enak. Jadi Mama tenang aja, nggak akan rugi pokoknya.”

“Ya ya ya. Mama percaya.” Mama manggut-manggut. “Tapi yang penting sih buat Mama kamu sekarang mau belajar masak, Mir.”

Miranti nyengir. Mama mengingatkannya pada masa lalu. Saat dimana dirinya enggan bersentuhan dengan dapur. Mama, perempuan baya yang masih memegang tradisi leluhur bahwa wanita harus bisa memasak untuk menyenangkan suaminya dan anak- anaknya kelak. Jadi wajib hukumnya untuk Miranti belajar memasak. Sayangnya, Miranti selalu mengelak. Baginya memasak itu ribet. Toh sudah ada restoran, jadi buat apa repot-repot.

 “Tenang aja, Ma restorannya sekarang makin banyak kok. Jadi nanti mantu dan cucu mama nggak akan kelaparan kok. Lagian coba Mama pikir makin banyak restoran makin banyak orang kerja kan? Itu berarti secara nggak langsung Miranti bantu orang juga kan?”

Kalau Miranti sudah beralasan demikian, Mama menyerah. Anaknya memang keras kepala. Meski begitu dalam hati ia selalu berdoa, kelak suatu saat Miranti berubah.

Dan doa Mama pun akhirnya dijabah. Miranti memang berubah. Akhir-akhir ini, Miranti mulai mau belajar memasak. Awalnya hanya bantu-bantu tetapi lama kelamaan, ia berani mempraktekan sendiri beberapa resep.

“Jadi sebenarnya masak nggak sulit kan?”

Miranti tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan Mama.

“Ah, tahu gitu dari dulu itu rumah sebelah Mama kontrakin ya, Mir?”

Dahi Miranti berkerut bingung. “Maksud Mama?”

“Kamu kira Mama nggak tahu. Itu kamu mulai masak buat Salman kan?” cibir Mama yang kontan memerahkan wajah Miranti.

“Mama apa sih?”

Mama tergelak. “Mama diam, bukan berarti nggak tahu, Sayang.” Senyumnya simpul. “Tapi yaudahlah. Mama sih nggak peduli apa alasan kamu, yang penting kamu bisa masak.”

Miranti tersenyum. “Iya, Ma. Jadi nggak keberatan kan?”

Mama menggeleng geli. “Asal ingat batasan. Eh, tapi ngomong-ngomong, buruan anterin sana! Bisa-bisa Salman udah keburu keluar cari makan.”

“Kan bisa sia-sia kamu masak, Mir! Udah capek-capek nggak dimakan  kan nggak seru. ” lanjut Mama dengan senyum menggoda.

Miranti manyun seketika. “Mama omongannya, ah!”

***

Salman, lelaki muda yang baru beberapa bulan mengontrak di sebelah rumah Miranti. Rumah yang dikontrak Salman sebenarnya masih rumah milik keluarga Miranti juga. Selama ini ditempati kakaknya, tetapi karena kakaknya ditugaskan keluar kota jadi tak ada salahnya rumah dikontrakkan pada orang lain.

Sejak awal perkenalan, Miranti sudah tertarik pada Salman. Halus tutur bahasa serta sikap yang santun juga paras yang rupawan menumbuhkan perasaan lain di hati Miranti. Namun, sebagai wanita dan juga karena mereka belum lama mengenal tentu saja Miranti harus berhati-hati. Ia tak bisa langsung terbuka soal perasaannya.

Harus ada caranya.

Dan Miranti memilih untuk mulai menarik perhatian Salman melalui makanan. Mumpung sekarang bulan puasa. Tak ada salahnya kan jika ia sering mengirimkan takjil berbuka kepada Salman.

Yah, namanya usaha.

***

Miranti menatap satu persatu kotak makanan yang berada di atas meja. Memastikan semua makanan yang dibuatnya tertata rapi di dalam kotak. Setelah semua dirasa pas, ia tersenyum lebar sembari menata kotak makanan ke dalam plastic yang sudah disiapkan.

Beres, gumamnya dalam hati. Tinggal berangkat!

“Cie, cie!”

Miranti meringis. Mama kembali menggodanya.

“Apaan sih, Ma!” Protesnya. “Udah lah ya, aku pergi dulu ya, Ma!” Sambungnya sambil bergegas meninggalkan rumah. Semakin lama, Mama bisa makin sering menggodanya.

Miranti menghela nafas dalam- dalam saat berada di depan pintu rumah Salman. Jarak rumah bersebelahan tentu tak membutuhkan waktu lama. Tiba-tiba ia merasa gugup melanda.

Harus berani, Mir. Demi masa depan!

“Assalamua’laikum,”

“Wa’laikumsalam,”

Miranti bersorak dalam hati saat mendengar suara Salman dari dalam rumah. Yess, orangnnya ada!

“Eh, ada Miranti!”

Miranti tertegun sesaat. Salman muncul dengan dalam balutan kaos berwarna putih polos dipadu sarung bermotif kotak- kotak berwarna merah. Ia terlihat segar. Mungkin habis mandi. Penampilan Salman sebenarnya sederhana, tetapi mampu membuatnya terlihat bersinar di mata Miranti.

Efek jatuh cinta.

“Miranti, ada apa?”

“Eh, iya…aku…,” Miranti gelagapan. Gugup dan kikuk.

Ya Tuhan, tolong hambamu ini…

Miranti pun menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. “A—aku mau nganterin makanan,” katanya lagi sembari menyodorkan plastik ke hadapan Salman.

“Wah makasih ya! Tapi jadi ngerepotin aja!” Ucap Salman sembari mengembangkan senyum. Senyum yang mampu membuat jantung Miranti berdegup makin tak keruan.

Duh Mama, tolong anakmu ini!

“Oh eng—nggak, nggak ngerepotin kok.”

“Ya repotlah. Kan itu berarti Tante masak banyak.”

“Tante?” Sejenak Miranti mengernyit heran. Apa hubungannya sama mama?

“Iya,“ Salman mengangguk dan tersenyum tipis. “Ini masakan Tante kan?”

“I—itu…,”

“Bilangin ke Tante makasih banyak ya. Dari baunya sih udah kecium enak nih. Tante itu jago masak ya.”

Bibir Miranti mencebik. Ia berdecak sebal. Argh, kenapa jadi Mama yang dipuji, sih?

“Asal kamu tahu ya. Ini bukan Mama yang masak tapi aku!” ungkap Miranti dengan ketus. Dan detik selanjutnya ia memilih berbalik dan meninggalkan Salman yang melongo kebingungan.

eh, salah ngomong ya…

***

*Cerita lama yang diedit ulang.(ISL)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun