Miranti nyengir. Mama mengingatkannya pada masa lalu. Saat dimana dirinya enggan bersentuhan dengan dapur. Mama, perempuan baya yang masih memegang tradisi leluhur bahwa wanita harus bisa memasak untuk menyenangkan suaminya dan anak- anaknya kelak. Jadi wajib hukumnya untuk Miranti belajar memasak. Sayangnya, Miranti selalu mengelak. Baginya memasak itu ribet. Toh sudah ada restoran, jadi buat apa repot-repot.
“Tenang aja, Ma restorannya sekarang makin banyak kok. Jadi nanti mantu dan cucu mama nggak akan kelaparan kok. Lagian coba Mama pikir makin banyak restoran makin banyak orang kerja kan? Itu berarti secara nggak langsung Miranti bantu orang juga kan?”
Kalau Miranti sudah beralasan demikian, Mama menyerah. Anaknya memang keras kepala. Meski begitu dalam hati ia selalu berdoa, kelak suatu saat Miranti berubah.
Dan doa Mama pun akhirnya dijabah. Miranti memang berubah. Akhir-akhir ini, Miranti mulai mau belajar memasak. Awalnya hanya bantu-bantu tetapi lama kelamaan, ia berani mempraktekan sendiri beberapa resep.
“Jadi sebenarnya masak nggak sulit kan?”
Miranti tersenyum dan mengangguk menjawab pertanyaan Mama.
“Ah, tahu gitu dari dulu itu rumah sebelah Mama kontrakin ya, Mir?”
Dahi Miranti berkerut bingung. “Maksud Mama?”
“Kamu kira Mama nggak tahu. Itu kamu mulai masak buat Salman kan?” cibir Mama yang kontan memerahkan wajah Miranti.
“Mama apa sih?”
Mama tergelak. “Mama diam, bukan berarti nggak tahu, Sayang.” Senyumnya simpul. “Tapi yaudahlah. Mama sih nggak peduli apa alasan kamu, yang penting kamu bisa masak.”