Aku melotot saat menemukan sepasang sepatu tergeletak berantakan di depan pintu rumah. ck, ini pasti kerjaan Milana, gerutuku dalam hati. Bergegas aku pun masuk ke dalam rumah lalu mencari keberadaan anak perempuanku.
“MILANA! MILANA!” Teriakku sembari membuka pintu kamarnya. Kekesalanku bertambah karena menemukannya tengah bersantai di ranjang.
Anak ini, huh?
“Apa sih, Ma?” tanyanya gusar. Kurasa ia kesal karena aku mengganggu waktu santainya.
“Itu sepatu kamu, kenapa nggak ditaruh di tempatnya? Berantakan lihatnya. Sana beresin!” Perintahku kemudian. “Itu juga seragam. Kenapa nggak ganti baju dulu sih kamu!”
“Nanti sih, Ma. Udah pewe nih.” Milana membantah.
Aku melotot kesal. “Sekarang, Milana!
“Ih, Mama ngomel aja loh. Nanti aj…,”
“SEKARANG!” Suaraku keras. Tak ada penolakan lagi.
“Iya-iya!” Milana beranjak dari ranjang dengan muka bertekuk. Aku menggeleng, semakin beranjak remaja, Milana makin suka membantah kata-kata. Banyak hal yang dilakukannya pun secara asal dan sembarangan. Jengkelnya jika ditegur selalu banyak alasan. Padahal sebagai orangtua aku harus mendidiknya menjadi anak yang kelak bisa membanggakan. Tahu etika, norma dan kesopanan!
Tiba-tiba kilasan masa lalu melintas di benakku. Dulu aku pernah berada di posisi Milana. Mengabaikan setiap ucapan Mama lalu menggerutu kesal saat ditegur. Ah, jadi seperti ini perasaan Mama saat itu!