"Hai, Alexa." Aku menoleh dan mendapati Kay, sahabatku sudah ada di sebelahku. Menyapaku dengan senyuman khas miliknya. Aku cemberut, segera kulajukan skateboard electricku, tak berniat membalas sapaannya. Aku masih marah padamu, batinku kesal.
"Al, tunggu." Kurasakan kehadirannya di sebelahku.
"Kau ma...."
Tak kuhiraukan ucapan selanjutnya, aku semakin mempercepat laju skateboard keluaran mutakhir yang dibelikan ayah. Baru beberapa ratus unit yang beredar.
"Al, berhenti! "Kucondongkan tubuhku untuk memepercepat laju.
"BERHENTI DISITU, ALEXA! "
Ucapan keras Kay membuatku kaget. Tanpa kusadari lajuku melambat. Kesempatan yang baik tak disia- siakan Kay, ia kini sudah berada tepat dihadapanku. Secepat ini ia bisa mengejarku, bukankah skateboardku keluaran terbaru sedangkan milik Kay...
Ah, sial. Aku menepuk jidat. Menyadari bahwa ayah Kay, salah seorang ilmuwan super jenius yang membuat benda- benda canggih untuk kehidupan manusia saat ini. Termasuk skateboard electric yang kupakai saat ini. Bukan tak mungkin skateboard milik Kay lebih baik dari yang kumiliki.
"Kau kenapa?," tanyanya saat dihadapanku
Aku menggeleng. "Aku tidak apa- apa," jawabku singkat.
"Tidak, kau ada apa- apa? Kau sakit? "Suaranya terdengar mengkhawatirkanku.
Kutepis tangannya yang hendak menyentuh dahiku. "Aku baik- baik saja, Kay."
Kay mendesah. "Baiklah, kalau begitu kita berangkat bersama, "
Belum satu ucapan balasan keluar dari bibirku, Kay sudah menggenggam tanganku dan membawaku mengikutinya. Aku hanya dapat mendengus sebal, Kay tetaplah Kay. Tidak ada boleh ada kata penolakan baginya.
"Alexa, "
Ah, manusia ini. Lagi- lagi menemukanku. Padahal sudah kurancang sedari tadi, pada jam istirahat aku memilih bersembunyi di perpustakaan sekolah daripada harus melihat wajahnya. Sungguh aku masih enggan menyapanya.
"Kau.., ah bagaimana bisa menemukanku," desahku frustasi. Benar- benar tak bisa menghindarinya sepertinya.
Ia tersenyum." Tidak sulit, mencarimu terlalu mudah."
Aku mendelik. Â "Ah, kau pasti menggunakan alat ayahmu yang terbaru! "
Kay tertawa, "Al, kalau ingin bersembunyi dariku matikan GPS pada watchmu."
Sial, gerutuku dalam hati sambil mengecek alat dipergelangan tanganku. Double sial, ternyata aku lupa menonaktifkannya, jelas saja Kay tahu keberadaanku.
"Fine, apa yang terjadi padamu? "Tanyanya kembali.
Aku membuang muka. Menatap ke jendela besar di ruang ini. Kau tidak peka sama sekali, gumamku dalam hati.
"Ayolah Alexa, kau marah padaku. Apa salahku?"
"Pikirkan sendiri," ucapku ketus dan segera bangkit dari kursiku. Kulangkahkan kaki menuju deretan rak. Menarik sebuah buku bersampul biru, oh buku kesehatan. Kubuka beberapa lembar halamannyaa.
"Aku tidak akan tahu kalau kau tak memberitahuku," Lagi- lagi Kay sudah di sampingku.
Aku tak bergeming. Kututup buku yang kubaca. Tidak menarik. Kuletakkan kembali ketempat semula, dan kulangkahkan kaki menyusuri buku- buku yang tersusun tapi namun sangat jarang disentuh. Kemajuan tekhnologi saat ini benar- benar canggih. Hanya menggunakan wirst watch di pergelangan tangan, kami dapat mengakses seluruh informasi terbaru, atau kalau kami malas tinggal menanyakan pada robot- robot pekerja di rumah. Maka kemudahan ini membuat kami melupakan fungsi buku. Padahal perpustakaan di sekolahku sangat besar, ah sudahlah...
"Al," panggilan Kay membuyarkan lamunanku. Kupikir ia sudah pergi namun ternyata...
"Apaan sih Kay?" Ucapku akhirnya menyerah. Kau tahu Kay, ia takkan bosan mengikutiku bila pertanyaannya belum terjawab.
Aku menundukkan tubuh, masih mencari buku yang sekiranya menarik.
"Al," astaga anak ini.
Aku menghela nafas. Kutegakkan tubuh, "Kemarin kau melupakan janjimu?" Ucapku gusar.
"Janji?" tanyanya ragu.
Aku melotot padanya, "Kau tak ingat kemarin tanggal berapa, Kay?"
Kay mengernyitkan dahi tak lama...
"Astaga, Alexa." Serunya menyadari. "Kau tak mengingatkanku,"
Aku mendengus sebal, "Tak perlu diingatkan, itukan janjimu!"
"Maafkan aku, Al. Aku benar- benar sibuk kemarin,"
"Kesibukan apa yang membuatmu melupakan janjimu sendiri," ucapku ketus.
"I.. Itu.. Itu," Kay terlihat kikuk, ia mengusap- usap tengkuk kepala belakangnya. Aku sudah hafal sifat ini, ia takkan mengatakannya.
"Sudahlah," ucapku sambil mengibas tangan kanan. Melangkah menjauhi Kay. Kau benar- benar kesal. Bukankah ia yang menjanjikan akan mengajakku berkeliling Mermadian City, kota bawah laut dengan Underwater Jetskinya pada minggu lalu. Dengan mudah ia mengatakan sibuk, aaarrrrrgggghhh.....
"Al, aku belum bisa mengatakannya," suara Kay dibelakangku. Aku memutar kedua bola mataku, ah dia masih mengikutiku juga.
"Al," panggilnya lagi. Tak kupedulikan lagi, mataku tertuju pada sebuah buku yang berada di rak paling bawah. Buku berwarna pink, warna kesukaanku. Kuraih buku tersebut dan kubuka.
‘Milik : Kinanti Pramesa Putri‘
Nama yang cantik, tunggu tulisannya tulisan tangan.
"Kay, " kali ini aku yang memanggil Kay. "Lihat!" Ujarku menunjukkan padanya.
Ia mendekatiku. "Ini,,,,."ucapnya terhenti.
Aku menatapnya intens, ada yang ia sembunyikan sepertinya.
"Apa Kay, jujurlah padaku!"
"Kau tak tahu buku itu Al, namun mungkin terkait kesibukan yang kukatakan tadi,"
Aku memandang Kay, tak sabar kubuka halaman selanjutnya. Kutemukan foto dan sebaris tulisan indah. Tunggu dulu foto ini....
"Kay," lagi- lagi panggilku padanya.
Kay hanya mengangguk.
"Bahagia itu sederhana, berkumpul bersama keluarga, :-)
Kubaca kalimat sederhana yang tertulis dibawah foto tersebut. Amazing. Barisan kata indah sesuai dengan foto yang terpampang. Dua orang manusia berusia senja duduk dengan masing- masing memangku balita laki- laki, wajah kedua balita mirip. Kembar sepertinya. Beberapa orang dewasa berdiri dibelakangnya dan seorang anak perempuan disamping paling kanan. Semuanya tersenyum bahagia, itu yang kulihat.
"Maret, dua ribu empat belas," kubaca deretan waktu yang tertulis di paling bawah. Aku mengerjapkan mata, masih tak percaya.
"Kay," panggilku pelan.
"Ikut aku," Kurasakan tanganku ditarik Kay dan dalam sepersekian detik kami sudah berada di sebuah ruangan. Arrghh, dia memakai teleporternya.
"Ini dimana?"
"Kau lupa tempat ini,"
Kupandangi sekeliling ruangan, sial, inikan kamar Kay.
"Aku tak mungkin mengatakannya di tempat lain Al, cukup berbahaya." Katanya perlahan.
"Apa artinya ini rahasia,"
Kay mengangguk, kemudian berdiri mengambil mengaktifkan smartipadnya. "Lihatlah," katanya sambil menyodorkan alat itu. Kuamati deretan gambar yang Kay perlihatkan.
"Itulah bumi dulu," perkataan pelan Kay membuatku menoleh cepat padanya.
"Maksudmu?"
"Deretan pegunungan indah, pantai, laut yang terlihat menakjubkan bukan?" Kay mendesah, "Tak seperti sekarang, kita terkungkung di dalam sebuah lapisan kaca pelindung. Makhluk hiduppun tak seindah masa itu. Kebanyakan hasil rekayasa genetik. Manusia pada masa itu dapat makan yang terlihat enak bukan?"
Aku mengernyitkan dahi, "Kay,"
"Masih ingat foto tadi?" Tanyanya kemudian. Aku mengangguk cepat. "Bukankah mereka terrlihat bahagia, Al? Mataharipun tak berbahaya bagi mereka. Tidak seperti saat ini, kulit kita rentan terhadap matahari hingga lapisan pelindungpun digunakan. Kita tidak memakan makanan seenak mereka, hanya sebutir pil dua kali sehari yang katanya cukup memenuhi semua kebutuhan tubuh kita,"
"Ini sejarah bumi, mengapa disembunyikan?"Yah mengapa kenyataan seperti ini tak pernah kudengar atau kupelajari di sekolah.
Kay menggeleng, "Aku tak tahu, ini kebijakan pemerintahan bertahun- tahun sebelumnya, mungkin untuk menutupi alasan kehancuran bumi juga?"
Aku menggeleng tak paham. "Aku tak mengerti, Kay."
"Manusia dulu hidup tak seperti Sekarang, Al. Satu pemerintahan. Banyak negara. Namun semua serakah, tamak ingin menguasai negara lain. Selain itu mereka mengeksploitasi sumber daya alam habis- habisan tanpa mengingat anak cucunya. Hingga tanpa disadari, kehidupan bumi sudah hancur,"
"Lalu kau tahu darimana ini?"
"Ini proyek rahasia ayahku dan beberapa ilmuwan, menemukan planet lain layak huni seperti bumi, hingga manusia hidup seperti dulu,"
Aku menatap Kay, memastikan semua kebenaran ceritanya. "Kau yakin? Apakah sudah ditemukan?"
Kay mengangguk, "Beberapa planet di galaplanet di galaksi ini sudah teridentifikasi bisa ditinggali, namun masih banyak yang harus di teliti. Ah, aku benar- benar tak sabar menginginkan hidup seperti mereka yang difoto," Kulihat senyum menghiasi Kay.
Aku mengangguk- anggukkan kepala, "semoga," batinku.
(ISL)
Bandung, 29 Maret 2014
PS. Hehehe..... Lagi nyoba scie_fic masa depan bumi :-) :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H