*SUP BATU PEMERSATU*
Di suatu tahun, aku pusing memikirkan siswaku satu kelas, Â di suatu negara primitif. Â
Mereka semua pelit. Â Milikku miliku, Â milikmu milikmu! Padahal mereka bukan orang miskin berkekurangan. Â
Oleh karena berteman dengan Pailul, Â aku curhat kepadanya. Â Dan Pailul menawarkan diri menjadi guru tamu di kelasku. Â
Aku menyetujui, suwer, keren!
Pailul pun datang di sekolah. Â Ia mengajak anak-anak belajar di luar kelas. Â
Anak anak mengikut Pailul dengan cuek seperti layaknya anak-anak ego dhewek dhewek.
***
"Ya, Â ini batu tidak sembarangan. Ini namanya Batu Sup. Â Batu ini bisa dimasak menjadi sup yg lezat." kata Pailul menunjukkan sebutir kerikil yg telah dicuci bersih.
"Wauw, Â memang enak, Om?!" tanya Cindi. Â
"Tentu. Â Ada yang mau sup?" tanya Pailul. Â
Anak-anak saling berteriak, mau. Â
Pailul terus menyalakan tungku perapian. Â
Sebuah panci berukuran besar disiapkan di atas tungku. Â
"Nah, Â kita memasak sup batu, Â sekarang!"
Pailul menuangkan air ke dalam panci. Â Anak-anak melingkari panci itu. Mereka berebut mendekat untuk mendapatkan pembuktian. Â
Sebutir batu krikil dimasukkan ke dalam panci. Air mulai mendidih. Â Pailul mengaduk perlahan. Sesekali bibirnya bergerak, entah. Â
"Em, Â sebenarnya sup batu ini akan terasa enak kalau dicampuri bawang bombai. Â Sayangnya Om lupa membawa bawang."
Seorang bocah teriak, Â "Saya punya, Om."
Anak itu berlari pulang. Â Hanya sebentar saja anak itu sudah kembali dan menyodorkan beberapa butir bawang bombai.
Pailul dengan cekatan memotong-motong bawang gembrot itu dan memasukkannya ke dalam panci. Â
Lantas, Â kepulan asap dari panci mengelana menyusup lubang hidung. Â Bau harum bawang bombai membuai -buai. Ah, sedap!
"Nah, betul kan kata, Om? " Pailul sedikit membual.
Anak-anak kegirangan demi buaian Pailul.
"Sup ini akan semakin lezat kalau kita makan dengan kacang merah, Â bunga kol, Â dan sedikit garam. Â Tapi, Â ..." Pailul pura-pura memutusasakan diri. Â
Beberapa anak beteriak bersamaan,  "Aku punya Om." Mereka dengan spontan  berlari ke rumah masing-masing. Hanya beberapa saat, mereka  sudah kembali dengan membawa bunga kol, kacang merah,  dan garam.
"Ikhlas? " tanya Pailul saat memasukkan kacang merah ke dalam panci. Â
Anak-anak berteriak, "Ikhlas. "
Aroma kelezatan semakain membuai kitika Pailul mengaduk sup yang di atas tungku. Â
Upsssss enak, lidah mereka mulai tak tahan menggelinjang panasaran dengan sup batu. Â
"Sudah matang, Om," kata Boni seorang siswa yang doyan makan.
Pailul pura-pura mengaduk lagi sup itu. Â Kali ini dengan menengadah ke atas. Â
"Ada apa, Â Om? " tanya Rani, Â si kaya raya yg juga gak pernah mau berbagi.
"Ah, Â nggak apa-apa. Â Cuma sup ini akan mencapai puncak kelezatan kalau dimakan dengan sepotong daging."
Si Rani melesat ke rumahnya. Â Dan kembali dengan membawa daging cincang yg sudah siap masak. Â
Pailul buru-buru memasukkan daging cincang itu ke dalam panci. Â
"Nah, Â ini sup batu sudah siap saji. Â Siapa mau, silakan ambil mangkuk sendiri-sendiri," kata Pailul seperti deklarasi.
Semua anak berebut mengambil mangkuk di dapur sekolah. Â
Pailul kemudian mengisi setiap mangkuk yang disodorkan. Â Bau harum menebar kelezatan. Â
"Wih, Â ternyata enak ya sup batu," kata si kribo.
"Ya, Â betul benar-benar enak," si krempeng menimpali.
"Wah, Â besok kita masak bareng bareng aja sama Pak Guru, Â gak usah sama Om Pailul," usul si Kemplu. Â
Sejak peristiwa sup batu itu, Â murid-muridku selalu berbagi bersama. Bahkan aku juga selalu kebagian.
 @cemengut. _adaptasi.ceritadunia_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H