Andi terus saja berkomentar. Santun hampir naik pitam, kalau Pak Guru tidak segera memotong kata-kata Andi yang pedas itu. Pak Guru memaklumi kesalahan Santun. Ia anggap Santun tidak sengaja. Manusia memang tempatnya salah, yang penting menyadari kesalahan dan mau memperbaiki, kata Pak Guru.
***
Santun medongkol selama perjalanan pulang. Santun berharap tidak berpapasan dengan Andi, ia tak mau berkelahi siang ini. Santun ingin segera sampai di rumah. Santun menyusuri jalan sedikit berlari.
Tapi, sial! Santun berpapasan dengan Andi di pertigaan kampung Klengkeng.
“Hai! Kenapa kamu berlari? Mau bawa kabur uang sumbangan?!” Ledeknya.
Santun menghentikan langkah. Santun ingin membungkam mulut anak ini dengan tinju, agar tidak banyak omong lagi di hadapannya. Santun hampiri dia, dan langsung melayangkan kepalan tangan. Namun, dengan cekatan Andi menangkap lengan Santun. Pukulannya terhenti 10 cm di depan hidung Andi. Santun susul dengan serangan tangan kiri. Sebelum mendarat di muka, lengan Andi mencegah pukulan Santun. Lengannya terasa begitu keras sampai lengan Santun terasa ngilu.
Dengan mudah Andi menghempaskan tangan Santun. Hentakannya begitu keras, akibatnya tubuh Santun ikut terpelanting. Untung tidak jatuh. Kalau Andi menyusul dengan serangan, pasti mukanya sudah bonyok. Tetapi, ia meninggalkan Santun dengan tertawa-tawa mengejek.
Betapa sakitnya hati Santun. Ia tak dapat menyembunyikan kekesalannya. Apesnya lagi, di halaman rumah Santun sedang berkumpul anak-anak bermain kelereng.
“Kenapa kamu San?” Tegur Galih.
“Kayak orang kesakitan.”
“Tidak apa-apa.” Tangkis Santun.