Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jalan Berintang

12 Mei 2016   17:57 Diperbarui: 12 Mei 2016   19:39 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Anak-anak Sekolah I Dok.Pribadi

Bel akhir pelajaran masih mengiang di telinga. Pak Barja, guru Bahasa Indonesia, sudah mengakhiri pelajaran. Namun, Pak Guru belum menutup kelas. Ia minta waktu sebentar untuk menyampaikan pengumuman, tentang kawan mereka, Idam, yang hari ini tidak masuk kelas.

Kelas tiba-tiba sunyi. Tidak ada satupun komentar dari murid-murid. Duduk mereka rapi, tangan mereka yang mungil diletakkan di atas meja. Semua pasang mata menjurus pada satu arah, memandang tangan Guru Bahasa Indonesia yang belepotan putih kapur, membuka selipat demi selipat kertas yang dikeluarkan dari amplop kecil kumal.

“Dengarkan!” kata Pak Barja, kemudian membaca surat dari Idam yang ditulis tangan.

Yang terhormat,
 Bapak Wali Kelas VB
 di Tempat

Dengan hormat,
 Dengan ini saya beritahukan bahwa hari ini saya tidak dapat masuk kelas karena sakit. Saya berharap bisa segera sembuh. Tapi kalau besok juga belum masuk, saya mohon doanya.
 Demikian pemberitahuan ini saya sampaikan untuk menjadikan periksa.
 Atas perhatian Bapak saya ucapkan terimakasih.

Hormat saya,
 Idam Ch.

“Itu surat dari Idam. Saya harap ada yang menjenguknya.” Tutup Pak Barja, sambil memasukkan lembaran surat itu ke dalam tasnya.

Melintas di benak Santun, wajah Idam yang pucat. Ia tergolek dikamarnya yang kecil dan gelap, tidak ada yang menjaga. Emak-nya sejak pagi pergi ke ladang Pak Doro, bekerja menjadi buruh tani. Di rumahnya tidak ada siapa-siapa lagi. Bapaknya sudah meninggal ketika Idam masih berusia delapan bulan.

Idam di kelas anak yang baik. Rajin belajar, dan suka membantu temannya yang tidak memahami pelajaran yang disampaikan guru matematika. Ia senantiasa kelihatan riang, tidak rendah diri meskipun anak-anak memiliki kesan dia memang dari keluarga kekurangan. Seragam merah putihnya sudah mulai memudar dan nyaris berubah menjadi warna coklat. Sudah pasti dia tidak punya biaya untuk berobat.

“Saya usul Pak.” Santun angkat tangan.

“Silahkan.” Kata Pak Barja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun