Tidak sampai seminggu, Petinggi Markasan sudah berkuda jantan yang gagah. Di atas kudanya ia juga tampak lebih gagah. Dan semakin rajin keliling kampung. Kalau keliling kampung ada saja demit yang ikut bonceng.
Saat melakukan kunjungan di suatu kampung, ada seorang janda cantik menganggukkan kepala pada Markasan.
“Pak Markasan,” Kata demit yang menyertai, “Janda itu butuh bantuan.”
“Bantuan apa?” Markasan mendekatkan mulutnya pada telinga demit.
“Dia butuh laki-laki.” Saran demit.
“Ngawur kamu.” Bentak Petinggi Markasan. “Saya punya istri. Kalau istri tahu bisa marah.”
“Gampang, bujuk Bu Petinggi plesir, suruh ajak teman-temannya.”
Markasan menuruti saran demit. Ia menawarkan istrinya untuk plesir. Tidak hanya sehari dua hari, tapi seminggu. Istrinya setuju. Markasan memberi uang saku yang besar untuk belanja. Dan Markasan rajin mengunjungi kampung itu setiap malam, menemui janda cantik itu.
***
Namun, semenjak ada program aneh-aneh yang harus dilaksanakan, Markasan tidak tahu kalau ada penduduk yang berpapasan dengannya menundukkan kepala sebagai tanda rasa takut, atau sedang menyembunyikan mukannya dari rasa kesalnya. Markasan merasa itu penghormatan penduduk yang dalam untuknya.
Ketakutan penduduk itu semakin tampak nyata ketika salah seorang diantaranya dihardik Markasan, gara-gara belum melunasi iuran pembangunan desa. “Itu artinya kamu tak cinta pada desamu! Tidak nasionalis!”