***
Namun, masalah mulai muncul pada suatu malam. Waktu dia tidur sehabis mengoreksi data kontribusi perusahaan-perusahaan yang ada di desanya, pintu kantornya ada yang mengetuk. Ia tengok jam di dinding sudah jam satu. Ah, masak ada orang mengurus surat tengah malam? Pastilah ada sesuatu yang sangat-sangat mendesak. Ketika dia buka pintu tidak ada orang, hanya angin menanpar muka. Ia tutup lagi dan kembali ke tempat tidur lipat.
Belum sampai mata terpejam, ketukan pintu berbunyi lagi. Dia mendengar dengan jelas, tak ragu. Ia buka lagi pintu, klek-klek-klek. Kosong di luar.
Markasan merasa ada yang ingin main-main dengannya. Itu artinya ada yang punya niat mengganggu kepemimpinannya. Berarti pula situasi desanya akan menjadi goyah. Ia putuskan keluar kantor dan duduk di Pendopo. Udara memang sedang dingin, bulan hampir mencapai purnama. Hansip kemana? Ia membaca papan piket. Ya, mungkin sedang keliling desa.
Markasan kembali ke dalam kantor setelah tidak terjadi apa-apa. Tapi belum lelap tidurnya, Markasan mendengar suara pintu dibuka dan ditutup. Ia pergi ke pintu, di luar terlihat sosok berjalan dan hilang di pojok halaman Kantor Desa, di pohon beringin yang rimbun daunnya.
Sekali, dua kali, tiga kali, dalam malam-malam yang berbeda, sosok-sosok itu muncul meskipun dengan bentuk berbeda-beda. Markasan merasa terganggu dengan munculnya sosok-sosok itu. Dia mulai ragu dengan pendapatnya ketika awal menjabat Kepala Desa. Benarkah Kantor Desa ini memang ada penghuninya? Pikirnya.
Ibaratnya jarum jatuh di ujung desa akan terdengar di ujung lainnya. Apalagi peristiwa besar yang dialami orang nomor satu di desanya. Hanya saja penduduk, terutama mereka yang dituakan, merasa was-was. Jangan-jangan benar, Petinggi Markasan akan mengusir penghuni Kantor Desa dengan merobohkan pohon beringin itu. Mereka dulu mengusulkan agar ditanam pohon beringin di pojok halaman agar para penghuni itu merasa terlindungi. Katanya, pohon ini akan membuat mereka lebih sejuk. Kalau pengusiran itu yang diputuskan Petinggi Markasan?
Tetapi tidak. Markasan tidak segegabah yang mereka sangkakan. Secara diam-diam, dan tentu juga akhirnya tetap diketahui penduduknya, Markasan konsultasi kepada “orang pintar”.
Ia pulang membawa dua pilihan yang, baginya, sama-sama berata. “Orang pintar” itu mengatakan, “Yang muncul itu demit, bangsa iblis. Tapi jangan takut. Kita bisa menundukkannya. Jadi, mereka itu bisa diusir atau dibiarkan saja di situ untuk sampeanjadikan teman. Terserah Pak Petinggi.”
Markasan lansung saja memutuskan, “Diusir saja.”
“Jangan gegabah dulu. Semua ada resikonya. Kalau diusir mereka minta sangu. Sangunya itu yang berat, harus ada nyawa yang mengantarkannya. Alias perlu tumbal, dan tumbal itu manusia. Boleh anak kecil, orang dewasa, perempuan, laki-laki, sama saja. Nah, saya sarankan jadi teman.”