Halo teman-teman sesama diabetesi. Salam hidup sehat dan tetap semangat!
Kali ini saya ingin mengajak sesama diabetesi untuk melihat dari dekat sebuah Kongres Luar Biasa. Kongres Luar Biasa tersebut bukanlah Kongres Luar Biasa dari sebuah partai politik atau organisasi massa tertentu. Kongres Luar Biasa tersebut adalah sebuah Kongres Luar Biasa khayalan saja. Ahaaa...!
"Ada sebuah agenda yang sangat penting dan perlu." Begitu kata Otak yang mengundang saya dua hari lalu. "Ajaklah juga teman-teman dan keluarga yang mau ikut untuk menjadi peninjau."
"Pertama-tama saya mengucapkan  'Selamat datang dan terima kasih' kepada semua teman yang telah hadir pada Kongres Luar Biasa ini." Demikian Otak yang didaulat menjadi ketua rapat mengawali pembicaraannya.Â
"Walaupun kita gak bisa berkumpul mengelilingi sebuah meja rapat yang bundar atau panjang, dan walaupun juga kita gak melakukan rapat secara virtual sebagaimana yang sekarang menjadi trend dan lazim selama pandemic Covid-19, tetapi dengan sistem komunikasi canggih yang sudah disediakan oleh Sang Pencipta, maka kita bisa menyampaikan pertanyaan atau pernyataan dari tempat masing-masing kita."
"Langsung saja, Bos. Jangan bertele-tele. Apa sebenarnya agenda rapat kita saat ini?" Mulut bertanya sambil mengunyah sepotong singkong goreng.
Kita harus menghargai mereka yang sudah memberikan hidangan kepada kita. Begitu biasanya Mulut memberi alasan kenapa dia suka makan. Padahal, selalu tidak jelas apakah dia sedang lapar atau doyan makan atau justru memang rakus? Bagi dia, yang penting, sikaat bleeh ...!
"Baiklah," kata Otak. "Kita hanya akan bahas satu agenda saja pada saat ini, yakni sehubungan dengan laporan hasil 'medical checkup' yang kita dapatkan."
"Bagaimana rupanya hasil 'medical checkup'-nya, Bos?" Perut bertanya.
"Kita sudah terkena status diabetes melitus tipe 2 sekarang."
"Lho, kok bisa begitu, Bos?" Kembali Mulut bertanya, kali ini sambil mengunyah kue donat yang ditaburi meses coklat.
"Ah, kenapa rupanya kalau sudah berstatus diabetes? Emang gue pikirin? Masalah buat Loe, Bos?" Perut melemparkan serentetan pertanyaan kepada Otak.
Perut memang sohibnya Mulut. Mereka berdua selalu kompak, apalagi kalau sedang berburu kuliner. Sama seperti Mulut, Perut juga suka makan apa saja. Bagi mereka berdua, cuma ada dua jenis makanan, yakni: enak dan enak banget. Tidak ada makanan yang tidak enak. Tapi Perut paling suka nasi. Kalau belum makan nasi, rasanya belum 'nendang', begitu katanya kepada Mulut yang selalu memenuhi permintaannya.
Otak sejenak berdiam. Dia berusaha menenangkan suasana yang agak gaduh. Akhirnya yang lain juga ikut berdiam. Suasana menjadi hening seperti sunyi malam. Tak ada suara yang terdengar, kecuali suara 'dug dug dug' dari ruang kerja Jantung dan suara angin sepoi-sepoi dari hembusan dan hirupan udara yang dilakukan Paru.
"Ini semua memang gara-gara Mulut dan Perut!" Tiba-tiba Hati yang dikenal sangat pendiam buka suara dan memecahkan keheningan itu. Tidak biasanya dia menyalahkan rekan-rekannya. Dia terbiasa bekerja dalam diam, baik pada waktu pagi, siang atau malam.
"Iya, ini semua gara-gara Mulut dan Perut." Pankreas ikut menimpali. "Gara-gara kalian, maka saya harus kerja lebih keras untuk hasilkan insulin lebih banyak."
"Sayapun menjadi semakin melar gara-gara ulah Mulut dan Perut," Lemak ikut mengeluh sambil mempertunjukkan dirinya yang bergelantungan di sini dan di situ. "Di sini ni ni nih.... Di situ tu tu tuh ...."
"Kok, kami yang disalahkan? Kalian jangan asal ngomong dong. Pikir dulu sebelum ngomong." Mulut terlihat sangat tersinggung. Dia berhenti mengunyah kue dadar gulung.
"Saya gak tahu apakah kalian bodoh atau hanya pura-pura bodoh? Saya kasih tahu yaa.... Saya justru bermaksud baik dengan mengirimkan bahan bakar untuk kalian semua. Saya kirimkan karbohidrat yang banyak supaya kalian semua punya energi yang banyak. Silakan saja tanya Perut, berapa banyak karbohidrat yang saya kirim lewat dia untuk kalian semua?!" Mulut tampak sangat marah.
"Betul itu yang dikatakan Mulut." Perut melakukan pembelaan terhadap Mulut. Dia tidak mau sohibnya dipersalahkan. Dia tunjukkan bahwa dirinya adalah sahabat sejati bagi Mulut.
'A real friend is one who walks in when the rest of the world walks out' -- (Walter Winchell). Sahabat sejati ialah dia yang mengiringimu saat semua orang menjauhimu.
"Teman-teman, harap tenang semua," kata Otak. "Mari kita berdiskusi untuk cari solusi. Kalau ada masalah, mari kita telaah. Kita ini adalah satu tim. Bersatu kita teguh, bercerai kita ...."
"...kawin lagi!" Penis langsung memotong kata-kata Otak. Semua langsung tertawa terbahak-bahak. Suasana kembali menjadi riuh dan semarak.
"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Ini maksud saya, bukan seperti yang dikatakan kawan kita yang satu tadi," kata Otak.
"Oke, sekarang coba masing-masing kalian ceritakan apa yang sedang kalian rasakan saat ini." Otak berusaha mengendalikan jalannya rapat.
"Saya dulu, yaak," kata Mata. "Penglihatan saya mulai agak buram akhir-akhir ini. Gak tahu kenapa? Apa ini karena kurang vitamin A?"
"Oke, itu tadi dari Mata," kata Otak.Â
"Sekarang dari saya. Boleh, Bos?" Tenggorokan meminta persetujuan Otak.
"Silakan."
"Saya sering merasa cepat haus, padahal Mulut sudah sering dan banyak minum air. Gak tahu kenapa? Tapi apa ini gara-gara Mulut suka makan?"
"Eh, saya lagi yang disalahkan? Pertama Hati menyalahkan saya. Lalu Pankreas dan Lemak ikut menyalahkan saya. Sekarang Mata dan Tenggorokan ikut-ikutan menyalahkan saya lagi? Mulut memprotes keras.
"Tenggorokan, seharusnya kamu berterima kasih kepada saya. Saya sudah minum banyak air minum untuk menyegarkanmu. Kalau kamu masih tetap haus, bilang saja biar saya minum lebih banyak lagi."
Semua berdiam mendengarkan celotehan Mulut. Mereka tahu bahwa Mulut bisa bicara apa saja. Mulut tidak mau dikalahkan kalau sedang berdebat. Dia punya lidah sebagai senjata pamungkasnya untuk memplintir kata dan kalimat.
"Maafkan saya, Bos. Malu saya, Bos." Tiba-tiba terdengar pelan suara Penis.
"Iya, ada apa dengan kamu, Pen? Tolong sampaikan dengan suara yang lebih jelas dan keras."
"Nggg..., malu ah, Bos."
"Gak apa-apa, Pen. Katakan saja."
"Saya..., saya merasa nggg...gak sekuat yang dulu lagi, Bos," kata Penis yang langsung disambut tawa riuh peserta rapat.
"Ya, iyalah, Pen. Kamu 'kan sudah mulai tua. Biasalah itu, Pen."
"Ya, memang saya sudah mulai tua. Tapi banyak yang sudah tua, masih tetap kuat, Bos."
"Lalu?"
"Saya pikir ini gara-gara Mulut dan Perut juga, Bos?"
"Aduh, kami lagi yang disalahkan." Mulut dan Perut menjawab hampir berbarengan.
"Maaf, maksud saya, gara-gara Pankreas yang gak bisa bekerja mencapai hasil maksimal lagi." Buru-buru Penis memberikan klarifikasi. Takut juga dia tampaknya kepada Mulut dan Perut. "Andaikan saja Pakreas bisa berfungsi dan bekerja mencapai hasil maksimal sebagaimana ketika dia masih muda dulu, maka saya pikir bahwa saya akan masih tetap kuat, Bos. Sekarang rasanya saya lemah dan mudah loyo, Bos. Bos boleh bertanya pada Otot yang sangat prihatin dengan keadaan saya ini."
Otot yang namanya disebut oleh Penis tidak bereaksi. Dia hanya berdiam diri. Dia tampak lesu dan tak bertenaga.
"Boleh saya memberi tanggapan, Bos?" Pankreas tampak merasa kesal karena dirinya disalahkan juga oleh Penis.
"Silakan."
"Begini, Bos. Suka atau gak suka, kalau Mulut mengirimkan karbohidrat ke Perut, maka sesuai dengan SOP ('standard operating procedure') saya harus bekerja untuk menghasilkan insulin. Semakin banyak karbohidrat yang dikirimkan dari Mulut ke Perut, maka semakin banyak insulin yang saya harus hasilkan. Insulin ini sangat diperlukan karena kalau gak demikian, maka kadar gula darah akan meningkat tinggi. Dan ketika kadar gula darah naik tinggi di atas batas normal, maka itu akan mendatangkan bahaya buat kita semua." Pankreas berdiam sejenak. Dia ingin memastikan bahwa apa yang sedang disampaikannya itu diperhatikan oleh semua peserta rapat.
"Laporan hasil 'medical checkup' menunjukkan bahwa kadar glukosa darah puasa kita sudah melebihi 126 mg/dL. Ini adalah sebuah tanda atau gejala diabetes. Dan laporan-laporan yang disampaikan oleh Lemak, Mata, Tenggorokan, dan Penis adalah juga gejala diabetes."
"Terus terang saja saya katakan bahwa saya gak percaya kalau Mulut punya maksud baik ketika dia mengirimkan karbohidrat ke Perut. Apanya yang baik? Bohong dia itu! Itu alasannya saja agar dia bisa menikmati setiap hidangan yang tersaji di hadapannya. Mohon maaf kalau saya bilang bahwa Mulut gak punya maksud baik."
"Tapi memang betul bahwa karbohidrat dalam bentuk glukosa adalah bahan bakar atau sumber energi untuk kita. Tanpa glukosa, mana mungkin masing-masing kita bekerja dan bertumbuh? Tapi kalau kebanyakan glukosa di dalam darah, itu justru akan membebani kita semua. Cepat atau lambat akan terjadi resistensi insulin."
"Resistensi insulin?" Hampir semua yang hadir serempak bertanya.
"Iya, resistensi insulin. Artinya, Otot, Hati dan Lemak gagal merespon sinyal dari insulin. Akibatnya, mereka gak bisa menerima glukosa untuk diubah menjadi energi cadangan di dalam gudang-gudang penyimpanan mereka. Akibatnya lagi, kadar glukosa di dalam darah akan tetap tinggi. Akibatnya lagi, cepat atau lambat akan masuk ke dalam status pra-diabetes dan diabetes. Akibatnya lagi ..."
"Apa akibatnya lagi? Dari tadi kok hanya akibatnya lagi terus ...." Mulut kembali usil ketika bertanya.
"Akibatnya lagi, kerusakan akan terjadi di mana-mana. Bisa terjadi komplikasi. Ini proses kerusakan yang sudah dan sedang terjadi pada kita saat ini. Apa kita semua mau cepat mati?" Pankreas berkata dengan nada suara meninggi sehingga membuat Jantung terkejut setengah mati dan Paru terengah-engah nyaris mati sementara yang lain semakin meringkukkan diri.
"Cukup dari saya, Bos. Silakan saja Bos bertanya kepada teman-teman. Perubahan-perubahan apa yang sudah mereka rasakan pada diri mereka saat ini?"
"Saya merasakan ada rasa kebas, kesemutan, dan terkadang panas menyengat," kata Kaki.
"Saya merasa terganggu karena sering pipis, termasuk di malam hari," kata Kantong Kencing.
Satu demi satu setiap peserta rapat menceritakan apa yang dirasakannya. Tidak ada lagi protes yang memicu kegaduhan. Semuanya menyimak setiap laporan yang disampaikan.
"Baiklah, teman-teman," kata Otak pada akhirnya. "Sebenarnya sayalah yang paling bertanggung jawab atas kenaikan kadar gula darah. Mulut dan Perut memang suka makan. Tapi itu mereka lakukan karena saya lepas kontrol terhadap mereka. Karena itu, saya mohon maaf kepada kita semua."
"Sudah larut malam. Besok kita lanjutkan. Kita perlu istirahat. Rapat saya tutup. Setujuu?"
"Setujuuu....!
Yuk jalan-jalan ke kota Tretes menikmati udara yang sejuk dan juga bersih. Yuk, kita kelola gejala diabetes dengan kadar glukosa darah yang terkendali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H