"Ah, kenapa rupanya kalau sudah berstatus diabetes? Emang gue pikirin? Masalah buat Loe, Bos?" Perut melemparkan serentetan pertanyaan kepada Otak.
Perut memang sohibnya Mulut. Mereka berdua selalu kompak, apalagi kalau sedang berburu kuliner. Sama seperti Mulut, Perut juga suka makan apa saja. Bagi mereka berdua, cuma ada dua jenis makanan, yakni: enak dan enak banget. Tidak ada makanan yang tidak enak. Tapi Perut paling suka nasi. Kalau belum makan nasi, rasanya belum 'nendang', begitu katanya kepada Mulut yang selalu memenuhi permintaannya.
Otak sejenak berdiam. Dia berusaha menenangkan suasana yang agak gaduh. Akhirnya yang lain juga ikut berdiam. Suasana menjadi hening seperti sunyi malam. Tak ada suara yang terdengar, kecuali suara 'dug dug dug' dari ruang kerja Jantung dan suara angin sepoi-sepoi dari hembusan dan hirupan udara yang dilakukan Paru.
"Ini semua memang gara-gara Mulut dan Perut!" Tiba-tiba Hati yang dikenal sangat pendiam buka suara dan memecahkan keheningan itu. Tidak biasanya dia menyalahkan rekan-rekannya. Dia terbiasa bekerja dalam diam, baik pada waktu pagi, siang atau malam.
"Iya, ini semua gara-gara Mulut dan Perut." Pankreas ikut menimpali. "Gara-gara kalian, maka saya harus kerja lebih keras untuk hasilkan insulin lebih banyak."
"Sayapun menjadi semakin melar gara-gara ulah Mulut dan Perut," Lemak ikut mengeluh sambil mempertunjukkan dirinya yang bergelantungan di sini dan di situ. "Di sini ni ni nih.... Di situ tu tu tuh ...."
"Kok, kami yang disalahkan? Kalian jangan asal ngomong dong. Pikir dulu sebelum ngomong." Mulut terlihat sangat tersinggung. Dia berhenti mengunyah kue dadar gulung.
"Saya gak tahu apakah kalian bodoh atau hanya pura-pura bodoh? Saya kasih tahu yaa.... Saya justru bermaksud baik dengan mengirimkan bahan bakar untuk kalian semua. Saya kirimkan karbohidrat yang banyak supaya kalian semua punya energi yang banyak. Silakan saja tanya Perut, berapa banyak karbohidrat yang saya kirim lewat dia untuk kalian semua?!" Mulut tampak sangat marah.
"Betul itu yang dikatakan Mulut." Perut melakukan pembelaan terhadap Mulut. Dia tidak mau sohibnya dipersalahkan. Dia tunjukkan bahwa dirinya adalah sahabat sejati bagi Mulut.
'A real friend is one who walks in when the rest of the world walks out' -- (Walter Winchell). Sahabat sejati ialah dia yang mengiringimu saat semua orang menjauhimu.
"Teman-teman, harap tenang semua," kata Otak. "Mari kita berdiskusi untuk cari solusi. Kalau ada masalah, mari kita telaah. Kita ini adalah satu tim. Bersatu kita teguh, bercerai kita ...."