"...kawin lagi!" Penis langsung memotong kata-kata Otak. Semua langsung tertawa terbahak-bahak. Suasana kembali menjadi riuh dan semarak.
"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Ini maksud saya, bukan seperti yang dikatakan kawan kita yang satu tadi," kata Otak.
"Oke, sekarang coba masing-masing kalian ceritakan apa yang sedang kalian rasakan saat ini." Otak berusaha mengendalikan jalannya rapat.
"Saya dulu, yaak," kata Mata. "Penglihatan saya mulai agak buram akhir-akhir ini. Gak tahu kenapa? Apa ini karena kurang vitamin A?"
"Oke, itu tadi dari Mata," kata Otak.Â
"Sekarang dari saya. Boleh, Bos?" Tenggorokan meminta persetujuan Otak.
"Silakan."
"Saya sering merasa cepat haus, padahal Mulut sudah sering dan banyak minum air. Gak tahu kenapa? Tapi apa ini gara-gara Mulut suka makan?"
"Eh, saya lagi yang disalahkan? Pertama Hati menyalahkan saya. Lalu Pankreas dan Lemak ikut menyalahkan saya. Sekarang Mata dan Tenggorokan ikut-ikutan menyalahkan saya lagi? Mulut memprotes keras.
"Tenggorokan, seharusnya kamu berterima kasih kepada saya. Saya sudah minum banyak air minum untuk menyegarkanmu. Kalau kamu masih tetap haus, bilang saja biar saya minum lebih banyak lagi."
Semua berdiam mendengarkan celotehan Mulut. Mereka tahu bahwa Mulut bisa bicara apa saja. Mulut tidak mau dikalahkan kalau sedang berdebat. Dia punya lidah sebagai senjata pamungkasnya untuk memplintir kata dan kalimat.