Berangkat dari hal ini, sungguh saya menganggap bahwa semua guru adalah penggerak, merekalah yang mampu untuk mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih humanis dan bermartabat. Pendidikan yang benar-benar berpusat pada siswa. Anak adalah subjek didik yang mampu menemukan pengetahuannya sendiri.Â
Tugas guru adalah memfasilitasi dan memotivasi anak untuk lebih bersikap mandiri dan proaktif dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah. Anak merasa senang, bahagia, dan merdeka dalam belajar. Guru benar-benar menjelma menjadi pendidik sejati, yang bukan saja membuka wawasan keilmuan siswa, tetapi juga menjadi contoh pembentukan karakter yang baik dan unggul.
Ketika semua guru merasa menjadi penggerak, maka mesin-mesin katalisasi transformasi pendidikan sedang bekerja dan bergerak menuju pendidikan yang lebih berkualitas dan berkemajuan. Oleh karena itu, labelisasi guru penggerak dan guru bukan penggerak hanya akan membawa kemunduran dalam dunia pendidikan.Â
Padahal bangsa ini secara pelan-pelan sudah menanggalkan eksklusivisme dalam pendidikan, seperti penghapusan sekolah bertaraf internasional, program kelas akselerasi, istilah sekolah favorit, sekolah unggulan, dan label-label sekolah elit lainnya. Lalu, apakah dengan munculnya istilah sekolah penggerak dan guru penggerak akan menjadi langkah mundur? Jawabannya bisa iya, bisa tidak, tergantung kita dalam menyikapinya. (Tulisan ini pernah dimuat di Solopos edisi 1 Desember 2021)
Imam Subkhan, pembuat konten, pemerhati pendidikan tinggal di Karanganyar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H