hari guru nasional tahun ini sudah berlalu. Namun tampaknya masih menyisakan pekerjaan rumah, terutama persoalan mutu guru. Dalam kesempatan ini, penulis sengaja mengangkat tulisan berjudul "Setiap Guru Adalah Penggerak", karena tergelitik untuk ikut nimbrung dalam dialektika Program Guru Penggerak yang saat ini tengah bergulir dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat, terutama di kalangan guru. Program ini diklaim oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, sebagai sebuah terobosan strategi transformasi pendidikan, terutama dalam meningkatkan kapasitas dan kompetensi guru-guru di Indonesia secara cepat, efektif, dan merata. Pertanyaannya, apakah program ini nantinya bisa terwujud sesuai target yang diharapkan? Atau hasilnya tak jauh berbeda dengan program-program sebelumnya? Waktulah yang akan menjawabnya.
Ingar-bingar peringatan
Sebagaimana yang digaung-gaungkan selama ini, ada harapan setinggi langit yang disematkan pada guru penggerak, yaitu menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, serta aktif dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya. Hal ini juga membawa dampak pada jenjang karier seorang guru ke depannya.Â
Jika guru ingin memegang kendali dalam kepemimpinan pendidikan, seperti menjadi kepala sekolah, pengawas, instruktur pelatihan guru, serta jabatan-jabatan strategis lainnya, maka dia harus menjadi guru penggerak terlebih dahulu. Luar biasa bukan? Maka tak heran, animo guru-guru untuk mendaftarkan diri cukup tinggi, tetapi sayangnya tidak semua bisa terpilih.
Model penyeleksian dalam program guru penggerak dilakukan secara ketat dan bertahap, mulai dari pengumpulan data diri guru secara komprehensif, tes tertulis, tes simulasi mengajar dan wawancara, sampai dengan mengikuti program pendidikan selama 9 bulan. Mulai dari tahap penjaringan hingga pelatihan, sebagian besar dilakukan secara daring atau memanfaatkan perangkat digital dan internet.Â
Secara otomatis, guru-guru yang lolos seleksi menjadi guru penggerak, adalah mereka yang melek teknologi dan terdukung oleh fasilitas yang memadai, seperti ketersediaan jaringan internet yang cukup.Â
Lalu bagaimana dengan guru-guru yang tidak menguasai teknologi informasi dengan baik? Atau guru yang memiliki keahlian tersebut tetapi tidak terdukung oleh fasilitas yang menunjang? Bisakah mereka lolos seleksi? Bisa jadi, sekadar mengisi formulir pendaftaran saja mereka akan kesulitan, apalagi mengikuti tahapan berikutnya sampai dengan menempuh program pendidikan selama berbulan-bulan.
Elitis dan Eksklusif
Inilah yang sebenarnya menjadi kritik pertama terhadap program guru penggerak. Program ini dianggap bersifat elitis dan eksklusif, karena masih menerapkan model seleksi secara ketat. Seolah-olah, program ini hanya bisa diakses oleh guru-guru dengan kualifikasi tertentu, meskipun dibuka secara umum. Sementara kuota yang disediakan pun tidak banyak. Sejak digulirkan pada pertengahan tahun 2020 sampai dengan angkatan ke-5 saat ini, telah terjaring 24.400 guru penggerak. Dan ditargetkan hingga tahun 2024 terdapat 405.900 guru penggerak di seluruh Indonesia.
Padahal jumlah guru di Indonesia saat ini, berkisar 3,7 juta, baik yang berstatus pegawai negeri sipil maupun swasta. Maka keberadaan guru penggerak hanya 10 persennya dari seluruh jumlah guru di Indonesia. Pertanyaannya, mampukah 10% guru penggerak ini menggerakkan 90% guru lainnya? Selanjutnya bisakah mereka menjadi agen katalisasi transformasi ekosistem pendidikan di Indonesia? Atau justru program ini hanya akan membawa kesenjangan yang semakin mengaga di kalangan guru?
Program guru penggerak bisa menjadi pemicu polarisasi dua kutub guru yang berbeda bahkan berlawanan, yaitu kutub guru penggerak dan kutub guru bukan penggerak, atau dilihat secara program pendidikannya, yaitu kutub guru yang terdidik dan kutub guru yang tidak terdidik. Hal ini pun sebenarnya berkelindan dengan gebrakan Nadiem Makarim sebelumnya, yang merupakan rangkaian program Merdeka Belajar, yaitu program Sekolah Penggerak dan Organisasi penggerak. Bahkan program ini di awal-awal telah terjadi kontroversial, terutama pada tahapan seleksi.
Imbas lainnya, program guru penggerak bisa menimbulkan rasa iri dari guru lainnya yang bukan guru penggerak. Pasalnya, berbagai program dan fasilitas telah disiapkan untuk guru penggerak, termasuk jenjang karier guru yang gemilang di masa depan.Â
Tentu sangat manusiawi jika guru-guru lainnya merasa tersisih, bahkan terisolasi dari kumpulan guru-guru penggerak. Dan efek puncaknya pada sikap apatis dan apriori terhadap program guru penggerak.Â
Barangkali pihak kementerian pendidikan sedari awal telah menyadari tentang ini, hanya saja perlu dicari jalan tengahnya, agar program peningkatan kompetensi guru benar-benar bisa merata dan berkeadilan.
Semua Jadi Penggerak
Sebenarnya ada hal yang sangat positif dari program guru penggerak adalah semangat kolaborasi atau nilai-nilai kerja sama. Diharapkan, para guru penggerak bisa saling bergandeng tangan untuk menguatkan guru-guru lainnya, dengan model coaching dan mentoring.
Pada implementasi di lapangan, para guru bisa saling belajar dan berbagi tentang berbagai ilmu dan pengalaman mengajar, tanpa harus merasa malu dan kesan menggurui. Ruang-ruang diskusi pun tercipta di kalangan guru, sehingga saling memberi motivasi satu dengan yang lainnya.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, terlepas dari pro dan kontra keberadaan program guru penggerak, semua stakeholder pendidikan, terutama pemerintah harus mendorong semua guru untuk bergerak bersama meningkatkan kompetensi sebagai seorang pendidik yang profesional tanpa membeda-bedakan.Â
Setiap guru hendaknya merasa diperhatikan dan diakui eksistensinya sebagai ujung tombak pendidikan yang langsung berhadapan dengan murid. Bukan semata-mata soal status atau kesejahteraannya, tetapi lebih pada hal-hal yang bersifat fundamental, seperti pencapaian jenjang karier yang jelas, yang di dalamnya terdapat pola pelatihan guru secara terstruktur dan sistematis. Semua guru baik negeri maupun swasta memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan program pelatihan serta meraih jenjang karier tersebut.
Selama ini, guru-guru yang sering mendapatkan kesempatan pelatihan sebagai perwakilan sekolah, terkesan hanya itu-itu saja alias belum merata. Biasanya yang dikirim dengan kriteria tertentu, seperti guru yang mudah bergaul, komunikasinya baik, aktif organisasi guru, sering mendampingi siswa lomba, menguasai teknologi informasi, atau bisa jadi karena faktor kedekatan dengan kepala sekolah.Â
Hal inilah sebenarnya yang melatarbelakangi lahirnya program guru penggerak, yaitu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua guru, mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini, sekolah dasar, hingga sekolah menengah untuk bisa mendaftar sebagai calon guru penggerak.
Hanya saja, karena masih menerapkan sistem seleksi secara ketat dan kompetitif, maka pada akhirnya yang diterima menjadi guru penggerak adalah mereka yang sebenarnya selama ini telah mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan dari program sebelumnya. Sementara yang belum pernah merasakan sama sekali, justru tidak terpilih atau bahkan malah minder terlebih dahulu mendaftar.
Berangkat dari hal ini, sungguh saya menganggap bahwa semua guru adalah penggerak, merekalah yang mampu untuk mengubah wajah pendidikan Indonesia menjadi lebih humanis dan bermartabat. Pendidikan yang benar-benar berpusat pada siswa. Anak adalah subjek didik yang mampu menemukan pengetahuannya sendiri.Â
Tugas guru adalah memfasilitasi dan memotivasi anak untuk lebih bersikap mandiri dan proaktif dalam setiap kegiatan pembelajaran di sekolah. Anak merasa senang, bahagia, dan merdeka dalam belajar. Guru benar-benar menjelma menjadi pendidik sejati, yang bukan saja membuka wawasan keilmuan siswa, tetapi juga menjadi contoh pembentukan karakter yang baik dan unggul.
Ketika semua guru merasa menjadi penggerak, maka mesin-mesin katalisasi transformasi pendidikan sedang bekerja dan bergerak menuju pendidikan yang lebih berkualitas dan berkemajuan. Oleh karena itu, labelisasi guru penggerak dan guru bukan penggerak hanya akan membawa kemunduran dalam dunia pendidikan.Â
Padahal bangsa ini secara pelan-pelan sudah menanggalkan eksklusivisme dalam pendidikan, seperti penghapusan sekolah bertaraf internasional, program kelas akselerasi, istilah sekolah favorit, sekolah unggulan, dan label-label sekolah elit lainnya. Lalu, apakah dengan munculnya istilah sekolah penggerak dan guru penggerak akan menjadi langkah mundur? Jawabannya bisa iya, bisa tidak, tergantung kita dalam menyikapinya. (Tulisan ini pernah dimuat di Solopos edisi 1 Desember 2021)
Imam Subkhan, pembuat konten, pemerhati pendidikan tinggal di Karanganyar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H